Sikap Ulama Islam Dahulu Terhadap Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah

Golongan Syi‘ah di zaman keagungan Islam ketika mana masyarakat Islam terdiri daripada ahli-ahli ilmu dan orang-orang soleh, tidak menyatakan belang mereka di hadapan umum. Mereka selalu melaksanakan syiar-syiar mereka secara tersembunyi secara taqiyah (nifaq). Selain dari itu golongan Syi‘ah juga menjaga kitab-kitab tulisan ulama-ulama mereka daripada terjelas kepada umum karena bimbangkan kemarahan dan kritikan terbuka dari ulama Islam terhadap mereka. Hakikat ini disebut oleh Syaikh Manzur Nu‘mani di dalam bukunya Revolusi Iran (Irani Inqilab, halaman 23):
“Kitab-kitab pokok Syi`ah tidak sampai ke tangan ulama-ulama Islam waktu itu. Para ulama Islam hanya mengetahui tentang Syi`ah melalui beberapa buah buku tulisan ulama Syi`ah yang terlepas ke tangan mereka atau melalui sikap sebagian kalangan Syi`ah pada masa itu.”


Walaupun begitu, berdasarkan maklumat yang sampai kepada mereka, para ulama Islam telah pun menghukum Syi‘ah sebagai golongan yang terkeluar dari Islam. Mereka menghukum Syi‘ah demikian hanya karena beberapa sebab yang diketahui secara pasti tentang Syi‘ah. Umpamanya Syi‘ah mengkafirkan para Shahabat terutamanya Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang agung seperti Sayidina Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Abdul Rahman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘Anh, dan lain-lain, atau karena Syi‘ah mempercayai raj‘ah. Karena itu, Anda dapat melihat umpamanya di dalam tulisan Al Imam Ibnu Hazm Al Andalusi (wafat 457 H) kenyataan beliau bahwa Syi‘ah bukan Islam karena mereka mempercayai Al Qur’an yang ada pada masyarakat Islam telah ditukargantikan isinya dengan ditambah suatu yang bukan berasal darinya dan dikurangkan sebagian yang besar daripada kandungan asalnya. (Al Fishalu Fi Al Milal Wa Al Ahwa’i Wa An Nihal, jilid 4, halaman 182)

Di satu tempat yang lain beliau menulis; “Golongan Rafidhah bukan Islam …… la adalah satu golongan yang mengikut jejak langkah Yahudi dan Kristian dalam pembohongan dan kekufuran.” (Ibid, jilid 2, halaman 78)

Imam Abu Zur’ah (wafat 264 H) berkata: “Bila engkau melihat seseorang memburuk-burukkan seseorang Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa sesungguhnya orang itu zindiq (orang yang lahirnya kelihatan Islam tetapi hakikatnya kafir), karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di sisi kita benar, Al Qur’an juga benar. Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah disampaikan kepada kita hanya oleh para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mereka mau mencacatkan saksi-saksi kita dengan tujuan untuk membatalkan (menimbulkan keraguan terhadap) ajaran Al Qur’an dan As Sunnah itu sendiri. Oleh karena tujuan mereka begitu, maka merekalah yang perlu dicacatkan dan mereka adalah golongan zindiq.” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Kifayah Fi Ma`rifati `llmi Ar Riwayah, halaman 49)

Imam Ibnu Al Mubarak berkata bahwa Abu ‘Ishmah bertanya pada Imam Abu Hanifah, “Dari siapakah tuan akan menyuruh saya menerima hadits-hadits?” Beliau berkata: “Terimalah hadits dari semua walaupun dari golongan ahli bid‘ah yang sederhana dalam pemahamannya, kecuali Syi‘ah karena prinsip ‘aqidah mereka ialah mempercayai sesatnya para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam…..” (Al Kifayah Fi Ma‘rifati ‘Ilmi Ar Riwayah, halaman 146)

Imam Syafi‘i (wafat 204 H) berkata: “Tidak pernah aku melihat golongan yang menurut hawa nafsu, yang lebih pembohong dari golongan Rafidhah.” (Al Kifayah, halaman 49, As Suyuti, Tadrib Ar Rawi, jilid 1, halaman 327)

Imam Malik (wafat 179 H) pernah berkata ketika ditanya tentang Syi‘ah: “Jangan kamu bercakap dengan mereka dan jangan kamu meriwayatkan hadits dari mereka karena mereka selalu berdusta.” (Ibnu Taimiyah, Minhaj As Sunnah An Nabawiyah, jilid 1, halaman 16)

Imam Ibnu Al Mubarak (wafat 181 H) berkata: “Agama itu bagi ahli hadits, percakapan dan putar belit bagi ahli falsafah, dan pembohongan bagi golongan Syi`ah.” (Adz Dzahabi, Al Muntaqa, halaman 68)

Imam Thahawi (wafat 321 H) berkata: “Kita (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) mengasihi para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Kita tidak ekstrim dalam mengasihi siapa pun dari mereka. Kita tidak berlepas diri dari mana-mana Shahabat (tidak menyatakan kebencian terhadap mereka). Kita membenci siapa yang membenci para Shahabat dan tidak menyebut para Shahabat dengan baik. Kita tidak menyebut Shahabat melainkan dengan kebaikan. Kasih kepada mereka merupakan agama, iman, dan ihsan. Dan benci kepada mereka adalah kekufuran, nifaq, dan kederhakaan.” (Ath Thahawi, Syarhu Al ’Aqidati Ath Thahawiyah, halaman 545)

Imam Ahmad (wafat 241 H) berkata: “Tidak harus bagi seseorang Islam memburuk-burukkan para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sekiranya ada siapa saja melakukan demikian, maka wajiblah ia didera!” Beliau juga pernah berkata: “Apabila kamu melihat seseorang memburuk-burukkan seseorang Shahabat, maka raguilah keislaman dan keimanannya.” (Ash Sharimu Al Maslul, halaman 568 dan Mufti Muhammad Syafi`, Maqami Shahabah, halaman 118)

Hafizh Shamsuddin Adz Dzahabi (wafat 748 H) di dalam bukunya Mizan Al I‘tidal (jilid 1 halaman 4) jelas mengatakan bahwa golongan Syi‘ah telah diresapi oleh pemahaman “rafdh” (pemahaman yang bencik Sayidina Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu ‘Anh). Memburuk-memburukkan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina ‘Umar, serta menyeru orang lain kepadanya sudah menjadi agama mereka, oleh karena itu golongan ini tidak bisa lagi dipercayai. Tidak ada seorang pun dari mereka yang benar. Berbohong, mengada-adakan suatu secara tidak benar sudah menjadi syiar mereka. Taqiyah dan nifaq sudah menjadi selimut mereka. Oleh itu di dalam keadaan sifat-sifat mereka sebegini, bagaimanakah riwayat mereka bisa diterima? Sikap mereka yang ekstrim seperti ini tidak wujud di kalangan salaf mereka.”

Kemudian Imam Adz Dzahabi menulis lagi; “Syi`ah Ghulat (Syi`ah ekstrem) di zaman kita ini ialah Syi`ah yang mengkafirkan para Shahabat agung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berlepas diri daripada Sayidina Abu Bakar dan Sayidina `Umar Radhiyallahu ‘Anh. Dengan itu, golongan ini adalah golongan yang sesat dan golongan yang menimbulkan kekacauan.”

Hujjatu Al Mutakallimin Abu Al Muzaffar Al Isfiraini (wafat 471 H) di dalam At Tabshir Fi Ad Din (halaman 24-25), Qadhi ‘Iyadh Al Maliki (wafat 544 H) dalam Asy Syifa Fi Ta‘rifi Huquqi Al Mushthafa (jilid 2, halaman 286-291), Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani (wafat 561 H) di dalam kitabnya Ghunyah Ath Thalibin (jilid 1, halaman 87 dan 90), Mulla ‘Ali Al Qari (wafat 1014 H) di dalam Syarah Al Fiqh Al Akbar (halaman 163), ‘Allamah Bahrul ‘Ulum Al Lucknowi (wafat 1225 H) di dalam kitabnya Fawatihu Ar Rahamut (jilid 2, halaman 97), Ibnu ‘Abidin Asy Syami (wafat 1260 H) di dalam kitab Raddu Al Muhtar (jilid 3, halaman 46, Bab Al Muharramat), ‘Allamah Mahmud Al Alusi (wafat 1270 H) di dalam tafsirnya Ruhu Al Ma‘ani (jilid 26, halaman 116, Tafsir Surah Al Fath, ayat 29), Muhammad Anwar Syah Al Kasymiri (wafat 1302 H) di dalam Faidhu Al Baari (jilid 1 halaman 120) dan Syah Waliyullah Ad Dahlawi (wafat 1176 H) di dalam bukunya Tafhimat llahiyah. Semua mereka yang tersebut tadi telah mengeluarkan Syi‘ah yang mengkafirkan Shahabat daripada lingkungan Islam.

Syah Waliyullah menyebut bahwa salah satu perkara yang menyebabkan Syi‘ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah terkeluar dari Islam ialah kepercayaan mereka kepada keimamam dua belas imam, yang bermakna mereka telah menolak ‘aqidah “Khatmi An Nubuwwah” walaupun mereka mendakwa mengakui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai “Khatamu Al Anbiya”. (Tafhimat Ilahiyah, halaman 244)

Syah ‘Abdul ‘Aziz Ad Dahlawi telah mengkafirkan Syi‘ah dan beliau berkata: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan mereka adalah orang yang tidak mengetahui ‘aqidah mereka.” Beliau juga berfatwa demikian. (Faidhu Al Baari, jilid 1, halaman 120)

Selain dari itu, terdapat banyak lagi ulama di setiap zaman yang mengkafirkan Syi’ah dan mengeluarkan mereka dari daerah Islam karena ‘aqidah-’aqidah seperti ‘aqidah tahrif Al Qur’an, ‘aqidah bada’, ‘aqidah mengkafirkan para shahabat agung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ‘aqidah Imamah.(hasanalbana)