Segala puji bagi Allah, sholawat serta
salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan
sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah
meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini
sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. Sebagai
agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi
sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak
dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam
sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan
yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita
menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur
dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan
makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam
hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian
kepada keluarga Ja’far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang
menyesakkan”.
(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi
(Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn
Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan
rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus
ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah
ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah
meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang
mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di
Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus
mengalir. Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa
mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif;
memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi
uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi
kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal
jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat
sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang
memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu
secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat
Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak
makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi
isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang
mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar
kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut
bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.
Sebagian ulama menyatakan mengirimkan
pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa,
nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan
al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang
memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para
shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti
shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang
mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu.
Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah
dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya
dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat,
atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan
diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang,
menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di
antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam
al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan
harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi
menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS
al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’:
6)
Dibalik selamatan kematian tersebut
sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang
tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan
besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah
cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang
anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan
menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya
berbakti/mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
“…dan aku membenci al-ma’tam,
yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa
tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat.”
(al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa
ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam
tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi
disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa
Matahari 25 Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo
yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang
Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria
(kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga
mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang
dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah
tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus
menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan
ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut berdasarkan
obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat
itu, yaitu Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur.
Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena
pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu
berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah
ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan
Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah.
Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak
begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di
sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan
Muria), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat.
Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali,
yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat
pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda
(Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara
lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk
menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun
ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran
Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan
Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di
masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan,
upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh
Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup
efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik
masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai
contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit
terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya; Punika
sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat
taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung,
makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan
rina” (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini,
bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada
istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat
persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang
hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah tangga,
sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga).
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia
satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar
wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[1]
adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap
saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari
kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian
semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi
dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari
perbuatan sesat dan bid’ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.
[2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim,
pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah
Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina
namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya
tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal
Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama,
namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan
termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di zaman akhir yang ini
dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang ‘aneh’ asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama
tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll.
Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan
merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu
senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah
(selamatan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin
Abdullah al-Bajali: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul
di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka
merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. (Musnad Ahmad bin
Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu
Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat
menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah
pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah
untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah
tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH,
apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari
tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi
keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun
untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan
hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata:
”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi
makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah
mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang
disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan
untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG
DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN
UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA
HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan
pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri
proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya
hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi
yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa
diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak
bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan,
atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian
tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang
pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit
selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian,
menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”,
bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA
tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika
prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan
untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH
(yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada
hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka
tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan
prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia
mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap
seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya
dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk
menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan
masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi
seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus
disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli
warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela
(jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]
Hasil Scan halaman buku “Masalah Keagamaan” Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah);
Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 , Seperti terlampir di bawah ini :