Kisah Tobat Kyai Afrokhi dari TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat)

Pengantar Admin : Pada kesempatan ini, saya akan memberikan kesaksian dari Kyai Afrokhi seorang mantan Kyai yang dahulunya terkena virus TBC (Tahayul, Bid'ah dan Churafat). Kesaksian ini akan saya lanjutkan dengan kesaksian Kyai Mahrus Ali mantan Kyai "TBC" lainnya yang telah bertaubat (harap sabar saya lagi mengetik ulang).

Berikut Ini Kesaksiannya :
"Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid'ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat- tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba'an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan" "Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya" (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90) "Kita
biasa melakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan
kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala
masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah dan
kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama sekali,
yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat banyak orang
yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang mengamalkannya.
Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu adalah suatu
kebenaran." (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210) Beliau
adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok
pesantren "Rahmatullah".

Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja,
namun juga banyak diperbincangkan oleh teman- teman pengajian di
Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo. Keberanian beliau dalam
menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur'an
dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan
pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan
berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian
kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak,
Hidayah dan Taufiq dari Allah ta'ala.

Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma'ruf dan mencegah dari
yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah
batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap
ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari
keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan
itu kepada beliau Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan
dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari para
tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak
hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau
mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan
kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan
permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al- Qur'an dan As-Sunnah
yang shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta
umat pada umumnya. Seandainya para Kyai itu mau mengkaji kembali
ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah dikritisi
dan digugat oleh banyak pihak.
Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para Ulama
Tanah Haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis dalam
aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan
masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama itu,
tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan bisa
terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC
(Tahayul, Bid'ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta
asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas
menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak
menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya
Allah, NU khususnya dan para 'alim NU pada umumnya akan menjadi
barometer keagamaan dan keilmuan. 'Alimnya yang berbasis kepada Al-
Qur'an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu
sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama'ah, sehingga para 'alim serta
Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai
pewaris para Nabi.

Namun sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang
sebelah mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan
keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus
menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya
sebagai a'wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari
lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot
aktivitas dakwah Kyai Afrokhi. Walaupun beliau mendapat perlakuan yang
demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak
terpancar dari dalam dirinya.

Siapakah yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh
Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin
senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya
karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan
syari'at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau
bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.
Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang
yang bergelar sama dengan gelar beliau, yakni Kyai. Di saat banyak
para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid'ahan dan
tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di
saat itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada.

Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.
Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang,
harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat
dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat
harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan
meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi. Inilah fenomena
kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik,
bid'ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai
ahli bid'ah, jama'ah serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan
beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam perilakunya.
Dengan tawadhu' serta penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu
mengatasi permasalahan hidup.

Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:
"Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas
kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf
saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa
saya sesatkan dalam kebid'ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba'an,
maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau
kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah
senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang
lalu (Amin ya robbal 'alamin)"

(Dinukil dan diketik ulang dengan gubahan seperlunya dari buku "Buku
Putih Kyai NU" oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh
Ponpes Rohmatulloh-Kediri-, mantan A'wan Syuriah MWC NU Kandangan
Kediri)