KPK dan Hakim Melampaui Kuasa Tuhan (Sebuah renungan terhadap vonis LHI)

(al-iqab) Dalam agama Islam, seseorang yang berniat melakukan suatu perbuatan yang dilarang namun belum dikerjakannya, maka Allah tidak akan memberikan ganjaran terhadap perbuatannya itu. Yang diberikan ganjaran adalah bagi orang yang telah melaksanakan niat tidak baiknya tersebut. Demikianlah keadilan yang diberikan Allah kepada manusia, untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan suatu yang dilarang oleh Agama. Namun dalam vonis yang diberikan 3 dari 5 hakim di tipikor melebihi dari apa yang telah menjadi koridor dalam mengganjar seseorang atas perbuatannya. Untuk itu tulisan ini mencoba sedikit mengupas putusan hakim tersebut dari sudut pengetahuan penulis, dan yang sudah pasti tidak ada maksud dari penulis untuk mengatakan LHI benar-benar murni bebas dari jeratan hukum.

1. NIAT Seperti dikemukakan diatas bahwa niat seseorang untuk melakukan perbuatan jahat belum akan mendapat ganjaran dari sang khaliknya sebelum
dia mengerjakan niatnya tersebut. Dalam hal ini malaikat pencatat keburukan kita belum menulis niat tersebut untuk dilaporkan kepada ‘atasannya’. Disini KPK dan hakim telah bertindak jauh diatas kewenangan yang dimiliki oleh malaikat. Fakta persidangan secara kasat mata dikatakan dalam tuntutan bahwa uang 1,3 milyar merupakan bagian dari 40 milyar yang dijanjikan oleh PT Indoguna untuk memudahkan dalam upaya menambah quota impor daging sapi. Tapi kenyataannya uang tersebut belum diterima dan tidak ada janji 40 milyar yang dimaksudkan, terlebih lagi tidak ada kenaikan tambahan quota dari Kementan yang merupakan shohib dari LHI.

2. SADAPAN KPK sangat tergesa-gesa dalam mengambil sebuah kesimpulan hasil sadapan, dan terkesan menutup-nutupi sadapan yang meringankan LHI. Hal ini beberapa kali diutarakan oleh kuasa hukumnya kepada penyidik, namun penyidik tidak bergeming dan melalui juru bicaranya selalu mengatakan ‘nanti kita lihat fakta persidangan’. Setali tiga uang ternyata disidang pengadilanpun hakim tidak memberikan peluang kepada jaksa KPK untuk memutar sadapan yang tidak pernah dipublikasikan dalam persidangan tersebut. Pembelaan yang dilakukan pengacara dengan mengatakan uang tersebut terkait hutang piutang dibantah oleh Jaksa dan Hakim dengan alasan tidak ada bukti pendukung. Bagaimana mungkin ada bukti pendukung jika sadapan tentang pembayaran hutang piutang tidak bisa diputarkan dalam persidangan, suatu hil yang mustahil. Sebuah jurang pembeda yang sangat jelas dimana KPK berdasarkan alat bukti sadapan dengan mudah menjadikan seseorang sebagai tersangka, namun sebaliknya seorang tersangka tidak memilikinya. Bagaimana seandainya kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK dicabut dalam RUU penyadapan? Akan sulit menangkap seorang yang diduga melakukan TPK maupun TPPU. Intinya tidak ada penyadapan tidak ada tersangka. Dan apakah KPK akan jujur dalam mengungkap semua hasil penyadapan termasuk yang meringankan terdakwa? Hanya KPK dan Tuhanlah yang mengetahui apakah penyidik jujur dalam hal ini. Mau jujur, hebat.

 3. DISSENTING OPINION Sebagaimana diketahui bahwa 2 hakim tipikor memberikan dissenting opinion dalam hal siapa yang memiliki kewenangan dalam hal penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), apakah penuntut dari KPK atau penuntut dari Kejaksaan. Apalagi terdapat perbedaan dalam hal belum terjadinya tindak pidana asal sebelum TPPU diberikan kepada terdakwa. Beberapa pengamat hukum pidana memberikan komentarnya bahwa suatu hal yang wajib untuk membuktikan tindak pidana asal sebelum TPPU ditetapkan. Namun semua itu terbantahkan hanya dengan kesaksian ahli dari mantan Ketua PPTAK yang mengatakan ‘dapat diduga’ dan ‘demi keadilan’ hal tersebut bisa dikesampingkan. Sebuah keterangan yang berdampak sangat sistemik bagi LHI dan keluarganya. Bagaimana hal tersebut jika terjadi pada keluarga KPK, saksi ahli maupun 3 hakim Tipikor?

4. VONIS 16 TAHUN Baru kali ini hukuman korupsi terberat diberikan kepada seseorang yang diduga berniat melakukan suap terhadap penyelenggara Negara. Sementara otak dibalik semua scenario (Ahmad Fathanah) justru mendapat hukuman yang lebih ringan yaitu 14 tahun. Belum lagi jika dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi yan dilakukan Nazaruddin, Angie, dan lainnya. Suatu hal yang janggal jika melihat fakta persidangan. Hanya gara-gara LHI tidak tertib administrasi mengelola aset, semua disangkakan penggelapan harta kekayaan. Hanya karena Laporan Harta Kekayaan Negara (LHKN) nya tidak sesuai dengan kenyataan, dianggap pemalsuan laporan. Namun fakta hukum bahwa yang bersangkutan seorang bisnisman dari keterangan saksi-saksi ditolak hakim hanya karena prsoalan administrasi. Semoga saja Pak Yunus Husain sebagai saksi ahli, Jaksa KPK, dan 3 Hakim Tipikor memahami kegundahan penulis, karena terlihat ada skenario tertentu yang sedang dijalankan baik secara sadar maupun tidak sadar yang dilakukan oleh Lembaga Penegak Hukum.(malmal) Wallahua’lam.