Prof. John L.Esposito : Ikhwanul Muslimin Tidak Bisa di Matikan

Profesor John L. Esposito
(Al-Iqab) - Profesor John L. Esposito dari Departemen Bidang Internasional di Georgetown University, yang menulis buku : "The Future of Islam", mengklaim bahwa politik Islam tidak akan pernah mati. Sebaliknya, Esposito menegaskan bahwa terus berkembang menjadi bentuk ekspresi yang baru. Esposito yang menaruh perhatian mendalam tentang situasi di Mesir, pasca kudeta militer yang menggulingkan presiden Mohammad Mursi awal Juli, di mana banyak pengamat berkomentar, kudeta militer menandai kematian politik Islam. Namun, Esposito mengingatkan para pengamat dari Mark Twain yang mengatakan, "Laporan kematian politik Islam dinilai sangat berlebihan", ungkapnya. Memang, ini bukan pertama kalinya bahwa Ikhwanul Muslimin menghadapi penindasan. Meskipun, mereka selalu menghadapi makar dan musibah dalam berpolitik, tetapi mereka sepertinya selalu lahir kembali, dan menjadi lebih kuat. Esposito menyebutkan bahwa kematian politik Islam juga dinyatakan berkali-kali sebelumnya, saat Jamaah Ikhwanul Muslimin mengalami penidasan yang sangat hebat, seperti di zaman Presiden Gamal Abdul Nasser, di tahun l954. Tetapi, tahun 2012, Jamaah Ikhwanul Muslimin, berhasil menunjukkan kembali jati dirinya, sebagai sebuah gerakan dakwah yang tangguh, dan memiliki akar dikalangan rakyat Mesir. Di mana
mendapatkan dukungan rakyat Mesir, dan kaum
Muslimin. Justeru disaat banyak pengamat mengatakan,
bahwa terjadi kematian politik Islam, sebaliknya
kalangan Gerakan Islam, dan kalangan Islam
politik, bangkit dan memimpin di berbagai
kawasan. John Esposito melihat kembali Ikhwan di Mesir,
kembalinya Ennahda dan Rasyid Ghannoushi di
Tunisia, dan Partai Keadilan da Pembangunan di
Maroko, Gerakan Islam di Libya, Partai Ishlah di
Yaman, Partai Kesejahteraan yang Erbakan, yang
dibubarkan militer, kemudian munculnya AKP di Turki yang pimpin
Erdogan dan Abdullah Gul,
Hamas di Palestina, dan berbagai tempat lainnya'',
tegas Esposito. Esposito lebih lanjut, mengatkan bahwa berbagai
tantangan baru muncul, dan Gerakan Islam akan
belajar dari kesalahan dan beradaptasi, serta akan
menampilkan dirinya dalam berbagai bentuk
dengan cara yang terorganisir yang lebih baik.
''Era baru mungkin akan lahir, dan bukan menampilkan gaya lama Politik
Islam. Dan, tidak
mungkin setiap gerakan atau kelompok atau
kelompok kepentingan untuk mengabaikan
Islam", tambahnya. John Esposito mengkritik militer Mesir yang
melakukan tindakan kejam terhadap Ikhwanul
Muslimin dan Islam politik di negara itu. Menurut
Esposito, sikap militer itu menunjukkan adanya
"ambigu" (bermuka dua) dalam
berdemokrasi,katanya. ''Jika pemerintah yang dipimpin militer ingin
meminggirkan dan melemahkan Ikhwanul
Muslimin, percayalah bahwa tindakank militer
telah ditolak oleh mayoritas rakyat Mesir. Mengapa
mereka tidak sekarang segera
menyelenggarakan pemilu? Apa yang mereka takutkan?", tandasnya.
Esposito membandingkan situasi di Mesir dengan
Aljazair sebelum perang sipil, yaitu setelah hasil
pemilu yang demokratis dibatalkan, karena yang
menang dan merengkuh kekuasaan adalah Partai
Islam. Militer melakukan tindakan keras terhadap
kelompok Islam, dan memaksa pendukungnya yang melakukan gerakan damai untuk
mengangkat senjata melawan penindasan militer
dalam kasus yang terjadi di Aljazair, dan tidak
tertutup kemungkinan akan menyusul di Mesir,
tambahnya. Namun, Jamaah Ikhwan di Mesir menghadapi
berbagai kekuatan kepentingan yang menyatu,
kristen-koptik, sekuler, liberal, nasionalis, dan
militer, serta kekuatan regional yang takut dengan
perubahan baru di Mesir. Di mana Mesir menjadi
"episentrum" (pusat pengaruh) di Timur Tengah, dan jatuh ke tangan
Ikhwan. Satu-satunya negara yang sangat takut terhadap
kekuasaan Gerakan Islam di Mesir, tak lain, adalah
Arab Saudi. Raja Abdullah lah yang
memerintahkan Jenderal Abdul Fattah al-Sissi
memberangus Jamaah Ikhwan, menggulingkan
Presiden Mursi, dan membubarkan Partai Kebebasan dan Keadilan. Arab
Saudi dan Raja Abdullah tidak takut terhadap
Zionis-Israel ataupun Iran, tetapi penguasa Arab
Saudi, lebih takut terhadap pengaruh Jamaah
Ikhwan yang telah mengguncang dunia Arab dan
melahirkan revolusi, dan inilah yang membuat
para raja dan pangeran Arab mimpi buruk. Jalan satu-satunya
memberangus Jamaah Ikhwan,
betapa harus dibayar dengan mahal. (voaislam)