Melihat ustad-ustad muda yang wara-wiri tampil di TV menimbulkan
keprihatinan bagi saya. Bukannya senang, tetapi malu. Malu melihat
kelakuan dan gaya ustad yang membuat perut ini mau mual atau istilahnya
‘nek‘. Pengetahuan agama mereka minim, tetapi lagaknya seperti ulama
yang mumpuni. Modal mereka kemampaun akting, wajah ganteng, hafal
beberapa ayat, dan sedikit bakat orator. Televisi menggenjot mereka
untuk menaikkan rating iklan dan itu artinya untung besar bagi pengelola
TV.
Untuk membuat penonton makin penasaran dan makin menyukai sang
ustad, maka sisi kehidupan ustad muda pun digali termasuk kisah
asmaranya. Kepopuleran sang ustad membuatnya menjadi selebriti dan kisah
asmaranya memenuhi acara gosip (infotainment), lengkap dengan foto-foto
perempuan yang pernah dipacarinya. Bah, semakin muak saja melihat ustad
muda semacam itu, jauh dari kesan islami yang menjadi “kedok” da’inya.Baru kali ini terjadi acara pernikahan seorang ustad muda ditayangkan langsung oleh televisi yang menjadi host sang ustad.
Pernikahan artis kondang saja tidak pernah disiarkan langsung oleh televisi. Karena “mabuk” dalam popularitas, ucapan snag ustad kadang-kadang tidak terkendali. Dalam satu acara gosip dia menyatakan sambil bercanda bahwa kalau ia memberikan ceramah agama maka itu untuk mengejar pahala, tetapi kalau menikahi perempuan maka itu untuk mengejar paha. Hah! Ustad macam apakah yang berucap kalimat yang “jorok” tersebut. Ustad gadungan barangkali.
Tragisnya lagi, pamor sang ustad ini menjadi ternoda ketika mantan istrinya menceritakan aib masa lalu. Sang ustad beberapa kali melakukan hubungan intim dengan mantan istrinya itu karena tidak “tahan”. Sang ustad yang berkelit dikejar wartawan akhirnya mengaku melakukan itu setelah rujuk, sebuah alasan yang mengada-ada. Anehnya, meski aibnya terbongkar, sang ustad tetap saja makin eksis di televisi dan menjadi idola ibu-ibu majelis ta’lim. Televisi makin untung karena berita-berita tersebut membuat rating sang ustad makin laku.
Jamaaaah… ooo.. jamaaaah…
Ingat dengan slogan di atas? Ustad muda yang satu ini menggunakan lawakan dan akting seperti pemain teater untuk menarik perhatian. Penggunaan humor atau lawakan dalam ceramah agama sudah berlangsung sejak beberapa dekade. Yang mempeloporinya adalah dai sejuta ummat, Zainuddin MZ. Tetapi, humornya masih dalam batas kewajaran dan sangat mengena dengan isi ceramah yang disampaikannya. Lain Zainuddin MZ lain pula ustad asal Sulawesi tersebut. Lawakannya berlebihan dan terkesan dibuat-buat, begitu pula gerakannya seperti sedang berakting. Saya yang menonton menjadi nek, ini tuntunan atau tontonan? Ini ceramah agama atau hiburan agama?
Humor dalam ceramah agama itu ibarat bumbu, jika diberikan dalam takaran yang pas, ia menjadi bermanfaat dan membuat ceramah menjadi enak dan tidak membuat mengantuk. Tetapi jika diberikan dalam takaran yang berlebihan, ia membuat ceramah agama kehilangan tujuannya. Yang ditangkap oleh jamaah adalah kesan menghibur daripada menuntun ketaqwaan kepada Allah SWT. Orang datang ke ceramahnya akhirnya bukan untuk mengaji tetapi untuk mendengar aksi teater dan lawakan sang ustad Naudzubillah.
Saya masih respek kepada ustad-ustad muda semacam Yusuf Mansur, Arifin Ilham, atau Ilham Tanjung, dan dalam batas-batas tertentu kepada Aa Gym dan Ustad Jefry (yang terakhir ini dulu disebut ustad gaul tetapi sekarang saya lihat dia sudah banyak berubah). Ceramah agama mereka bernas dan tidak terkesan dibuat-buat, pengetahuan agamanya lumayan bagus, isi ceramahnya membuat kita banyak merenung, beda benar dengan ustad muda gadungan.
Banyaknya ustad muda gadungan yang bermunculan menjadi selebriti memancing minat banyak anak muda mengadu peruntungan menjadi ustad. Kontes da’i di televisi dibanjiri peminat, tetapi gaya mereka di televisi adalah aktivitas kepura-puraan dan hasil karbitan. Modal mereka adalah kepandaian berpidato yang dibuat-buat meniru da’i kondang dibalur dengan beberapa ayat supaya terlihat lebih religius. Kosong tak bermakna. Karena pemenang yang terpilih didasarkan pada jumlah dukungan SMS yang masuk, maka jangan kaget jika pememangnya adalah calon ustad yang wajahnya paling ganteng dan secara fisik lebih menarik (baca tulisan pembaca di Hidayatullah tentang hal ini).
Masih lebih baik ustad-ustad tawadhu di kampung-kampung, di pesantren-pesantren, yang ceramah agamanya lebih memikat hati ketimbang ustad muda gadungan di televisi itu. Mereka berceramah bukan untuk meraih popularitas, tetapi memang untuk memberikan tuntunan agama kepada ummat. Mereka mungkin tidak laku untuk tampil di televisi karena penampilan fisik mereka yang kurang memenuhi syarat atau tidak pandai melawak. Tetapi percayalah, substansi ceramah mereka banyak memberikan renungan mendalam untuk dijadikan tuntunan hidup di dunia dan di akhirat.