Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi di atas, di dalam Kitab I’anatut Thalibin :
- Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar, yang bagi orang (ulil amri) yang melarangnya akan diberi pahala.
- Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.
- Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.
- Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari’atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid’ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : “Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah”
- Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.
Hasil scan halaman kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166
Muhammadiyah, PERSIS dan Al
Irsyad, sepakat mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan Kematian) adalah
perkara bid’ah, dan harus ditinggalkan
Dari Thalhah: “Sahabat Jarir mendatangi
sahabat Umar, Umar berkata:
Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat?
Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita
kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan
hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan
meratap”. (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409),
juz II hal 487) dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary,
kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: “Merupakan perbuatan
orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan
menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (al-Mashnaf Abd
al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal
550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui
sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn
Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari
Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz
melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian
akan mendapat bencana dan akan merugi”.Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah”.
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an,
menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab
al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal
bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga
mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan
tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan
meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan
telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Scan Kitab Kuning Sabilal Muhtadin
(versi Arab Melayu) ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari
(bemazhab Syafi’i) . Pada halaman 87 juz 2 , beliau mengatakan :
Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian
memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya,
sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat
Scan halaman Kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang ulama besar dari Kalimantan Selatan yang bermazhab Syafi’i. Beliau mengatakan :
“Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian
membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun
sesudah mengubur seperti kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat”.
Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku Jilid 2, Bab Jenazah.
Al Mawa’idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi Nahdatul Ulama
Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini,
pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung acara prevalensi
perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan
hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :
Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :
- 1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu sarerea mah ?
- 2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.
- 3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.
Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :
- Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua orang tidak melakukan hal serupa itu ?
- Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
- Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.
Kemudian ditempat lain :
Tah koe katerangan Sajjid Bakri
dina ieu kitab I’anah geuning geus ittifaq oelama-oelama madhab noe 4
kana paadatan ittiehadz tho’am (ngayakeun kadaharan) ti ahli majit noe
diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. njeboetkeun
bid’ah moenkaroh.
Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr
di dalam kitab I’anah tersebut, ternyata para ulama dari 4 mazhab telah
menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang
biasa disebut dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya),
tujuhnya (hari ketujuhnya), dst, merupakan perbuatan bid’ah yang tidak
disukai agama.
Selanjutnya :
Koeninga koe ieu
toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid’ah moenkaroh, karohah haram teh
geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama’ah, lain bae Attobib, Al
Moemin, Al Mawa’idz. Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah
wal Djama’ah atawa sanes ?
Melalui kutipan-kutipan tersebut,
diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah mungkarah itu ternyata
ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan hanya majalah Attobib, Al
Moemin, Al Mawa’idz. Tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah
Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau bukan ?
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa warga Nu pada waktu itu sepakat
pandangannya terhadap hukum prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu bid’ah
yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, (menjadi haram karena sebab lain)
apabila biaya penyelenggaraan acara tersebut berasal dari tirkah mayit
(peninggalan mayit) yang di dalamnya terdapat ahli waris yang belum
baligh atau mahjur ‘alaihi ( di bawah pengampuan/curatel).
Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]
Dan para ulama berkata: “Tidak pantas
orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu setiap
orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam
itu”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel
Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu
Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien menghukumi makruh
berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk
berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan.
Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut,
setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr
al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal
146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan
tentang hukum dari al-Ma’tam: “Tidak diterima keterangan mengenai
perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari
sahabat-sahabatnya, dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin
serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula
tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan,
tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta
tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun
musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits
dari zaman nabi dan sahabat.
” Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I’anah at-Thalibien: “Tidak
diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah
tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan
bid’ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup
banyak pintu keburukan”. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr
al-Dimyati, I’anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang seolah-olah
terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila
dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an-
Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari
kami, maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen
untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah
tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah
yang sangat besar, membentengi perubahan- perubahan dalam agama akibat
arus pemikiran dan adat istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat
terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka
pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai
kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring
penyelewengan yang terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan
yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli
dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang
membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah
sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang
diakibatkan oleh bid’ah. Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian,
pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di
pihak Islam dan sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa
lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama
alim. Ibn Abbas r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada
manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan
menghidupkan bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak
akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah,
kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi
segala kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak
sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka
melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang
melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat
kebaikan di alam Akhirat”.(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Sekali lagi kami ulangi…
Sehingga disimpulkan oleh Majalah
al-Mawa’idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti
telah melanggar tiga hal:
- Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
- Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
- Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid
Bakr di dalam kitab ‘Ianah, ternyata para ulama dari empat madzhab telah
menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang
biasa disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst
merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama (hal 285). Melalui
kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang menghukumi
bid’ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah,
bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa’idz. tidak tau siapa
yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal
286). Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian
dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan
dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal 315 dalam
al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan
akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun
jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan.
Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok,
tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan
dibela-bela dan dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI
SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
- HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan
makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan
dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila
hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits
dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau
berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian
dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan
yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah
kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
- AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYA. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409). - IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan
makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan
dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk
apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir
bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh
Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
- AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
- ABU ABDULLAH AL-MAGHRIBY
Adapun penghidangan makanan oleh
keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut
dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan
tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak
didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen
tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila
keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan
kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan
selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga,
serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah
al-Maghriby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar
al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I
- AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210) - AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353) - AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577) - AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk
mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan,
seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang
shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr
al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
- AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) - RAUDLAH AL-THALIBIEN
- Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
IV. MADZHAB HAMBALI
- IBN QUDAMAH AL-MAQDISY
Adapun penghidangan makanan untuk
orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena
dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit,
serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa
dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir
mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul
bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab
Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”.
Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti
karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya
kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan
kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah
al-Maqdisy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
- ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MAQDISY
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan
makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi
apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang
berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti
telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya
apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali
apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A
bu Abdullah ibn Muflah al-Maqdisy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut:
Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
- ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram,
kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits
tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah
al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy,
1400) juz II, hal 283)
- MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi
keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan
keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris
al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah,
1390) juz I, hal 355)
- KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir
oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan
merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat
mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit
menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di
rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu
tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka
menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan
kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan
mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut
berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat
orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris
yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang
dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara
tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah,
berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn
Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah
Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat,
bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada
saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini
Di rujuk kepada tulisan:
Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur’an.
Dengan editing dan penambahan literatur dan gambar halaman buku yang
discan oleh Anwar Baru Belajar. http://www.facebook.com/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf