Aya Sofia Simbol Kemenangan Islam Di Tanah Eropa

(Al-Iqab) - Kini namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia. Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki. Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia. Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko. Tiang- tiangnya terbuat dari pualam warna-warni.
Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam
ukiran. Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini
juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol
pertarungan antara Islam dan non-Islam,
termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler
pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani. Gereja
Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah
sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang
dibangun pada masa Kaisar Justinianus
(penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja
Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari
Miletus. Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan
Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak
ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini
membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep
baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang
Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari
kawasan Suriah
dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah
yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini,
terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada
langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma,
yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya. Oleh
keduanya, konsep kubah dalam arsitektur
Islam ini dikombinasikan dengan bentuk
bangunan gereja yang memanjang. Dari situ
kemudian muncullah bentuk kubah yang
berbeda secara struktur, antara kubah Romawi
dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas
denah yang sudah harus
berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada
di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga
kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan.
Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium
dibangun di atas pendentive–struktur berbentuk segitiga melengkung
yang menahan kubah dari
keempat sisi denah persegi–yang memungkinkan
bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas. Bangunan gereja ini
sempat hancur beberapa kali
karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7
Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah
sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26
Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar
Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi
besar-besaran dilakukan agar
tak terkena gempa di awal abad ke-14. Pengembangan Turki Usmani
Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh
tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II
bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-
Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil
menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan
melakukan sujud syukur. Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu
juga,
bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya
menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada
hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan,
Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat
berjamaah. Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa
renovasi dan perubahan dilakukan terhadap
bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut
agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan
masjid. Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki
dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki
andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke
negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah
keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat
bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk
Islam, meskipun mereka berani berperang untuk
membela Islam. Karena orang-orang Turki yang beragama Islam
cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia
dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453,
bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah
Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa
Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar
bangunannya kemudian dilengkapi
dengan empat buah menara. Empat menara ini,
antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni
sebuah menara di bagian selatan. Pada masa
Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di
bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah
menara. Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya
disempurnakan dengan mengubah bagian-
bagian masjid yang masih bercirikan gereja.
Termasuk, mengganti tanda salib yang
terpampang pada puncak kubah dengan hiasan
bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam
Gereja Hagia Sophia dengan
tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-
perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga
dihilangkan.
Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-
lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500
tahun bangunan bekas Gereja
Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid. Akibat adanya kontak budaya antara orang-
orang Turki yang beragama Islam dengan budaya
Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang
semula mengenal atap rata dan bentuk kubah,
kemudian mulai mengenal atap meruncing.
Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal
dari pengembangan
bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan
perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang
menyebabkan timbulnya gaya baru dalam
penampilan masjid, yaitu pengembangan
lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang
lebih luas dan tinggi. Museum
Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan
Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa
Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini
melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia
untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah
proyek pembongkaran
Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak
bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi
menjadi gereja. Sejak difungsikan sebagai museum, para
pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen
dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar
pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit
ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi
dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen
peninggalan masa Gereja Hagia
Sophia kembali terlihat. Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang
menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya
tetap dipertahankan. Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu
objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah
Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur
Bizantium yang indah memesona. Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur
Islam Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan
arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam
dapat terlihat jelas dalam perkembangan
arsitektur masjid. Salah satu masjid yang gaya
arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek
Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam
adalah Masjid Aya Sofia
di Istanbul, Turki. Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat
mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan
(1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan
merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki
Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri. Kubah besar Masjid Aya
Sofia diadopsi oleh Sinan–
yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim
lainnya–untuk diterapkan dalam pembangunan
masjid. Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi
gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung
Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7
tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia,
masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata
dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan,
marmer mewah, serta
dekorasi indah. Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki
dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki
andil dalam pengembangan arsitektur Islam
hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk
yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam,
khususnya arsitektur masjid. Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan
konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan
terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep
masjid madrasah dan berkubah juga
dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep
baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa
Dinasti Umayyah. Ketika orang-orang Turki memperluas
kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi
dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya
bisa menguasai Bizantium. Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan
kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur
(Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11,
arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk
arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur
Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang
dibawa oleh bangsa
Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk
dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur. Akibat adanya kontak budaya antara orang-
orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa
Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya
mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah,
kemudian mulai mengenal atap meruncing ke
atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi
Timur ini juga,
arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang
bersifat megah, berkesan perkasa, dan
vertikalisme.(suaramedia.com)