Mereka Bicara Soal Bid’ah

suara pembaca:

(Al-Iqab) - Mereka para ahlul bid'ah selalu mencela sunnah, dan seolah
"memelihara jenggot dan memakai celana cingkrang" adalah
sebuah perbuatan yang tercela. Dan mereka selalu berusaha menyelisihi
sunnah yang mulia ini, agar mereka tidak sama dengan orang2 yang
mengamalkan sunnah. BID'AH DIANGGAP SUNNAH DAN SUNNAH DIANGGAP BIDAH.
Lebih mudah bagi seorang ahli maksiat untuk bertaubat daripada ahli
bid'ah, karena mereka menganggap kebid'ahan yang mereka lakukan adalah
amalan yang mulia. Belum cukupkah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam membawakan risalah Islam kepada kita?

Hampir hilang dari kita
penjelasan dari para ulama tentang segala amalan ibadah, sehingga kaum kita awam akan ilmu, org cuman disibukkan oleh rutinitas tahlilan dan
yasinan, nariyahan….sehingga
lupa menuntut ilmu secara benar. Ibadahnya banyak…tapi tanpa didasari
oleh dalil2 yg shahih, penjelasan dari ulama. Inilah
realitanya….kebodohan
akan agama Islam begitu merata…maka mereka pun bicara tanpa
ilmu,,,sehingga ilmu yang shahih menjadi asing, aneh. Coba kita tanya
kepada mereka tentang apa itu sunnah….ndak tahu,,,, Dimana
Allah?….juga ndak tahu., sedangkan para ulama telah menjelaskannya
dalam kitab kitabnya. Maka tidak heran yang kita jumpai mereka
mengedepankan
akalnya dalam beragama ini,,,,kebaikan diukur oleh
akalnya,,,,banyaknya
pengamalnya; bukan lagi diukur oleh Al Qur'an dan hadist yang telah
dijelaskan dan dipraktekan oleh para sahabat radhiallohu 'anhum. Tidak
ada yang menjelaskan apa isi kitab barjanji,
nariyahan…..yang
penting bacaannya ada dalam al qur'an…..maka bid'ah tersebar yang
telah menjadi sunnah di masyarakat kita Justru pelaku bid'ah itu suka
memaksa kita mengikuti bid'ahnya… contohnya : kita akan dicap sesat kalau kita tidak melaksanakan tahlilan

Demi Allah, menganggap bahwa menggunakan website adalah satu BID'AH
HASANAH DAN BAHWA ADA PEMBAGIAN BID'AH MENJADI BERMACAM-MACAM,
termasuk BID'AH HASANAH, adalah KEBODOHAN, dan sebaiknya TIDAK antum
pamerkan! Bid'ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi',
adalah "cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru
syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara
berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT".[Asy-Syathibi,
al-I'tishaam (Beirut: Darul Ma'rifah), juz 1, hlm. 37.] Ini merupakan
definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta
meliputi seluruh aspek bid'ah. Dari definisi tadi dapat dipetakan
bahwa medan operasional bid'ah adalah agama. Ia adalah "tindakan
mengada-ada dalam beragama". Dalil pernyataan ini adalah sabda
Rasulullah saw., "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama
kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."
(Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits riwayat Aisyah r.a.. Lihat: Syarh
Sunnah, karya al- Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-Syawisy dan Syu'
aib al-Arnauth, 1/211, hadits no: 103.) Dengan demikian, perbuatan
bid'ah hanya terjadi dalam bidang agama. Oleh karena itu, salah besar
orang yang menyangka bahwa perbuatan bid'ah juga dapat terjadi dalam
perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa
kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan
operasional bid'ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan "masalah ini
(salah satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid'ah karena kaum
salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in tidak melakukannya". Bisa jadi
hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat dinilai sebagai
bid'ah dalam agama. Karena jika tidak demikian, niscaya kita akan
memasukkan banyak sekali hal-hal baru yang kita pergunakan sekarang
ini sebagai bid'ah: seperti mikropon, karpet, meja, Komputer, Internet
dll, semua itu tidak dilakukan oleh generasi Islam yang pertama, juga
tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai
bid'ah? Maka TEKNOLOGI adalah netral! Itu hanya sarana! Apakah pantas
ada 'Ulama Salafus Sholih di masa kini, yang menulis dakwahnya dengan
naik unta, menggunakan tinta di atas kulit, dan tidak menggunakan
listrik??? LALU: Lihatlah: … Sesungguhnya ucapan yang paling benar
adalah
Kitabullah, dan sebaik- baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad,
sedangkan seburuk- buruk urusan agama ialah yang diada-adakan.
Tiap-tiap yang diada- adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah
sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim) … Dan
lihatlah, "Tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke
neraka." alias "Kullu bid'atin dlolalah wa kullu dholalatin fin naar"
(HR Muslim) … Maka … Mengenai "Kullu bid'atin Dlolalah wa kullu
dlolalatin fin naar". Ini adalah sabda Nabi – sholollohu 'alaihi
wasallam – yang diriwatkan oleh Imam Muslim dan An-Nasa'i, yang
artinya, semua bid'ah itu sesat dan semua kesesatan di neraka. Kalimat
"kullu bid'atin" = "Semua bid'ah" bersifat menyeluruh, yang didahului
dengan kalimat
yang bermakna menyeluruh dan meliputi segala aspeknya, yaitu "kullu".
Yang bersabda dengan kalimat ini adalah Rasulullah – shalallahu
'alaihi wasallam – beliau memahami maksud dari kalimat ini, dan beliau
adalah makhluk Allah yang paling fasih. Beliau adalah yang paling
menunaikan nasihat untuk manusia, tidaklah beliau berkata-kata kecuali
beliau memahami makna dari apa yang diucapkannya. Tidakkah demikian?
Maka, ketika beliau bersabda, "Semua bid'ah itu sesat, dan semua
kesesatan di neraka", beliau benar-benar memahami maksud dari
sabdanya. Beliau menyampaikan
sabdanya ini sebagai bentuk kesempurnaan nasihat beliau kepada umat
ini, termasuk kepada ana dan antum. Jika telah jelas, bahwa sabda Nabi
ini bersumber
dari kesempurnaan nasihat dan kehendak, kesempurnaan
penjelasan dan kefasihan, serta kesempurnaan ilmu dan pemahaman, maka
maksud dari sabda beliau adalah seperti kandugnan dari ucapan beliau.
Maka, jika setelah penjelasan beliau – bahwa seluruh bid'ah itu sesat
dan seluruh kesesatan itu di neraka- apakah boleh bagi kita untuk
membagi-bagi bid'ah menjadi dua, tiga atau lima bagian? Sama sekali
hal ini tidak bisa diterima. Adapun jika ada pembagian bid'ah yang
bersumber dari ulama, maka hal itu tidak lepas dari dua kondisi,
pertama:
(1) hal tersebut mungkin bukan bid'ah tapi ulama tersebut
menganggapnya bid'ah, atau yang
(2) Kedua, hal itu adalah bid'ah namun
ulama tsb tidak memahami akan kejelekan bid'ah yang ada pada amalan
tsb. Dengan demikian, maka tidak ada alasan bagi mereka yang
beranggapan dengan adanya bid'ah hasanah, sedangkan Nabi telah
menyampaikan
sabdanya ini. Sabda beliau ini ibarat pedang tajam yang bersumber dari
sumber kenabian dan kerasulan, bukan dari sumber yang bersifat bimbang
dan bingung. Sabda ini adalah sabda yang beliau
sepuh dengan kebalaghah-an
(kegamblangan) yang paling baligh.
Ada ulama yang membagi bid'ah menjadi dua macam, yaitu bid'ah hasanah
(bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk'). [Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah telah menulis redaksinya yang amat bagus, yang
meng- counter orang yang menganggap baik perbuatan bid'ah, seperti
yang beliau tulis dalam kitabnya "Iqtidha shiiraathal-Mustaqim,
Mukhalafatu Ashhabu al- Jahim", (Beirut: Darul Ma'rifah), hlm. 270 dan
seterusnya. Silakan dibaca kitab itu.] Ada juga ulama yang membagi
bid'ah menjadi lima macam, seperti halnya lima macam hukum syariat,
yaitu bid'ah wajibah (bid'ah yang wajib dilakukan), bid'ah mustahabbah
(bid'ah yang dianjurkan untuk dilakukan), bid'ah makruhah (bid'ah yang
makruh dilakukan), bid'ah muharramah (bid'ah yang haram dilakukan),
dan bid'ah mubaahah (bid'ah yang boleh dilakukan). [Pendapat mereka
ini telah dibahas dan didiskusikan oleh Imam asy-Syathibi secara
mendetail. Pada akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pembagian bid'ah
seperti ini adalah suatu perbuatan mengada-ada yang sama sekali tidak
didukung oleh syariat. Bahkan, ia bersifat kontradiktif dalam dirinya
sendiri. Karena, hakikat suatu bid'ah adalah sesuatu yang sama sekali
tidak mempunyai dalil, baik dari nash syariat maupun dari
kaidah-kaidahnya. Seandainya di dalam syariat ada sesuatu dalil yang
menunjukkan kewajiban, sunnah, atau bolehnya sesuatu (perbuatan
bid'ah) itu, niscaya tidak ada bid'ah dan niscaya perbuatan itu masuk
dalam kelompok perbuatan- perbuatan yang harus dikerjakan atau diberi
kesempatan untuk dikerjakan. Lihat al- I'tishaam, (Beirut: Darul
Ma'rifah), 1/188-211.] Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini
adalah bahwa pendapat tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama
dan sampai pada kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka — misalnya —
memasukkan masalah pencatatan Al-Qur'an dan
pengkompilasiannya
dalam satu mushaf, juga masalah
pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan pengkodifikasian
ilmu-ilmu keislaman yang
lain, dalam kategori bid'ah yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu
kifayah (kewajiban kolektif). Ulama yang lain menggugat penamaan
perbuatan tadi sebagai bagian dari bid'ah. Menurut mereka,
pengklasifikasian bid'ah semacam itu adalah pengklasifikasian bid'ah
berdasarkan pengertian lughawi 'etimologis', sedangkan pengertian kata
bid'ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis syar'i.
Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al- Qur'an dan
pengkompilasiannya)
tidak kami masukkan dalam kategori bid'ah. Adalah suatu inisiatif yang
tidak tetap memasukkan hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid'ah.
Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid'ah yang
dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif
diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, "Karena setiap bid'ah
adalah sesat," dengan pengertian yang general (umum). Jika dalam
hadits itu diungkapkan, "Karena setiap bid'ah adalah sesat," maka
tidak
tepat kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid'ah ada
yang baik dan ada yang buruk, atau ada bid'ah wajib dan ada bid'ah
yang dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan pembagian
bid'ah seperti ini. Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti
yang diungkapkan oleh hadits, "Karena setiap bid'ah adalah sesat."
Dan,
kata bid'ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid'ah dengan
definisi yang diucapkan oleh Imam asy-Syathibi, "Bid'ah adalah suatu
cara beragama yang dibuat- buat," yang tidak mempunyai dasar dan
landasan, baik dari Al- Qur'an, sunnah Nabi saw., ijma', qiyas, maupun
maslahat mursalah, dan tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai
oleh para fuqaha.

Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah
Kitabullah, dan sebaik- baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad,
sedangkan seburuk- buruk urusan agama ialah yang diada-adakan.
Tiap-tiap yang diada- adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah
sesat, dan tiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. Muslim) Maka
sangat jelas bahwa Bid'ah adalah mengada- ada atau bisa juga disebut
innovasi dalam hal urusan agama dan Ibadah dan ritualnya.
Bukan menyangkut urusan Benda seperti: website,computer,
mikrofone, mobil, dlsbg, maka benda boleh dipergunakan dan
dimanfaatkan. Salah besar jika Bid'ah dianggap sepele atau masalah
ringan apalagi tidak perlu sering2 untuk
di ingatkan pada ummat.
Karena ada banyak hadist yg menjelaskan mengenai bid;ah, menandakan
pentingnya ummat ini selalu dan tdk boleh bosan untuk di ingatkan
masalah bid'ah. Sungguh sangat di sayangkan Jika ritual2 atau Ibadah
bid'ah ini dibela dengan berbagai macam alasan sebagi pembelaan,
Misal: maulid itu kita bersholawat, membaca sirah nabi, kok dilarang,
bukankah itu kebaikan ???
Jawabnya simple, mengapa sebelum sholat Idul fitri, sholat idul adha,
sholat jenazah tidak pake
Adzan???
Bukankah Adzan adalah kebaikan ???
Apakah kalian mau melakukan adzan sebelum melakukan sholat2 tsb ???
Tentu jawaban nya, tidak Bro.. In syaa Allah Bagi yg ikut2an Bid'ah
bisa lebih mudah memahaminya…
Kalo Ustadz bid'ah siiih udah ngerti dan ngga usah di jelaskan lagi,
tapi pura2 aja ngeles karena takut hilang kepentingan dunia nya !!!
Na'udzubillah…

Semoga Allah permudahkan jalan admin untuk berdakwah dengan fahaman
Islam yg tulen dan betul ini. Memang ramai umat Islam sudah lama di
buaian dgn tradisi nenek moyang kita, sehingga tidak boleh menerima
sebarang tegoran walaupun itu satu yang haq. Dakwah Islam mengikuti
manhaj para Sahabat, memang akan mendapat tentangan dan tantangan
dari ramai manusia, ttpi jgn itu menjadi semangat anda lemah. Teruskan
berjuang Sunnah, yang (tampaknya telah) lama di tinggalkan. Bid'ah
(dianggap) perkataan senstitif hanya pada pelaku bid'ah saja.


Demikian di antara suara para pembaca mengenai soal bid’ah. Masih banyak saran yang lain, namun semoga yang ini sudah mewakili. Terimakasih.