… Jadi, perkataan HRS: [jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.] adalah perkataan yang batil. Batil karena syi’ah hari ini jauh berbeda dengan syi’ah tempo dulu. Para perawi syi’ah yg tercantum dalam shahihain adalah ‘manusia-manusia purba’ yg sudah punah sejak ratusan tahun lalu, menurut pengakuan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar…. dan tentunya mereka lebih paham tentang rijaalul hadits daripada HRS.
Perkataan ini juga batil karena tidak ada hadits syi’ah rafidhah -syi’ah hari ini- yang diriwayatkan secara independen oleh Imam Bukhari dan Muslim. Sama sekali tidak ada.
Saya berani mengajak HRS untuk mubahalah dalam hal ini. Silakan buktikan jika ada perawi yang akidahnya seperti Khomeini, atau Kang Jalal, atau dedengkot rafidhah lainnya hari ini, yang haditsnya tercantum dalam Shahihain –dengan syarat yg telah dijelaskan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tadi-!!
Inilah artikel selengkapnya.
Inilah artikel selengkapnya.
***
(tanggapan
atas Habib Rizieq Shihab)
Alhamdulillah
was shalaatu was salaamu ‘ala Rasuulillaah, ‘amma ba’du:
Sebelum
memberikan tanggapan, alangkah baiknya jika kita merenungkan sejenak firman
Allah berikut:
{وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 71]
Kaum
mukminin dan mukminat satu sama lain saling menjadi wali. Mereka ber-amar
ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, membayar zakat, serta menaati Allah dan
RasulNya. Merekalah yang kelak akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa dan Bijaksana (At Taubah: 71).
Dalam
ayat ini, Allah menjelaskan sejumlah karakter yang dimiliki orang-orang beriman
(baik laki-laki maupun perempuan). Pertama: bahwa mereka saling
menolong, loyal, membela, dan melindungi sesama mukmin/muslim. Itulah kira-kira
makna dari ‘saling menjadi wali’.
Kedua: mereka saling ber-amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, yang
mengetahui adanya suatu kema’rufan di antara kaum mukminin, menyampaikan hal
tersebut kepada saudaranya sesama mukmin, agar lebih banyak orang yg berbuat
ma’ruf. Sedangkan bila ada di antara mereka yang mengetahui adanya perbuatan
munkar yg dilakukan oleh orang lain, maka ia mengingatkan, meluruskan, dan
mencegah orang tersebut agar menghentikan kemunkarannya.
Inilah
dua pijakan utama saya dalam menulis tanggapan berikut, yaitu sebagai bentuk
amar ma’ruf nahi munkar, dan juga pembelaan terhadap Habib Rizieq sendiri!
Lho
koq bisa begitu?
Ya.
Bukankah Rasulullah kekasih kita semua menyuruh kita untuk membela saudara
kita, baik ia sebagai pihak yg zhalim maupun yg dizhalimi?! Simaklah hadits
berikut:
عن أنس رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ
مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا
أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ
تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ. رواه البخاري (6952)
Anas
bin Malik –radhiyallaahu ‘anhu- mengatkan bahwa Rasulullah –shallallaahu
‘alaihi wa sallam-, bersabda: “Tolonglah saudaramu (seiman) saat ia berbuat
zhalim maupun terzhalimi”. Beliau lantas ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah,
aku akan menolongnya saat ia dizhalimi. Tapi bagaimana menurutmu jika ia yang
berbuat zhalim, bagaimana aku menolongnya?
“Cegahlah
–atau laranglah- ia dari perbuatan zhalim tersebut. Demikianlah cara
menolongnya” jawab Rasulullah –shallaallaahu ‘alaihi wa sallam-.
(HR.
Bukhari dlm Shahihnya, kitab al-ikraah, bab yg terakhir, hadits no 6952).
Hadits
yg senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (no 2584) dari
sahabat Jabir bin Abdillah –radhiyallaahu ‘anhuma-.
Perlu
diketahui, bahwa seseorang dinyatakan zhalim bila meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya (وضع الشيء في
غير موضعه)[1]; demikian menurut mayoritas ahli bahasa.
Selain itu, seseorang dinyatakan zhalim bila ia berbuat sesuatu
terhadap milik orang lain, atau bertindak yang melampaui batas[2].
Termasuk
perbuatan zhalim ialah tidak menganggap kafir orang yang mestinya dianggap
kafir. Atau mengkafirkan orang yang semestinya tidak dikafirkan. Atau bersikap
lunak terhadap kelompok yang mestinya disikapi keras. Atau sebaliknya. Karena
itu semua berarti meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan termasuk
tindakan melampaui batas, baik batas minimal maupun batas maksimal.
Nah,
sebagai penutup mukaddimah ini, saya ajak pembaca untuk merenungkan dialog
singkat yang penuh makna berikut. Dialog ini terjadi antara Abu Shalih Al
Farra’ dengan Imam Yusuf bin Asbaath. Abu Shalih Al Farra’ pernah menceritakan
sejumlah hal tentang fitnah khawarij yang ia dengar dari Wakie’ kepada Yusuf
bin Asbaath. Maka Imam Yusuf bin Asbaath berkomentar: “Orang itu (Wakie’)
memang mirip dengan gurunya –yaitu Hasan ibnu Hayy (yg terkenal berpemikiran
khawarij)-!”.
“Apa
kamu tidak takut jika ucapanmu ini termasuk ghibah?”, tanya Abu Shalih.
“Dasar
lugu… memangnya kenapa?” sanggah Yusuf bin Asbaath. “Justru aku lebih berbakti
kepada mereka (orang-orang yang terjebak dalam bid’ah) daripada orang tua
mereka sendiri. Aku melarang orang-orang untuk mengikuti bid’ah yang mereka
ciptakan, sehingga mereka tidak memikul dosa orang-orang tsb. Sedangkan orang
yang memuji mereka justru lebih berbahaya bagi diri mereka” lanjut Yusuf bin
Asbaath.[3]
Renungilah
jawaban Imam Yusuf bin Asbaath yang demikian penuh makna ini…
Yang
beliau bicarakan disini bukanlah orang biasa, akan tetapi seorang tokoh ahli
hadits, ahli ibadah, ahli zuhud, dan luar biasa dalam banyak hal; akan tetapi
ia memiliki pemikiran yang berbahaya. Ia berpendapat bolehnya memberontak dan
mengangkat senjata kepada penguasa muslim yang berbuat zhalim yang tidak sampai
ke tingkat kufur (murtad). Itulah bid’ahnya khawarij. Pemikiran tersebut cukup
berbahaya walaupun yg bersangkutan sendiri tidak pernah mengangkat senjata
secara langsung. Ia sekedar memberi dukungan dan keberpihakan terhadap mereka
yang memberontak, alias membenarkan sikap kaum khawarij. Hal ini di mata para
salaf merupakan bahaya besar, sebab seorang tokoh semacam Hasan bin Shalih bin
Hayy yang demikian dikagumi banyak orang karena ilmu, kezuhudan, dan
keshalihannya tsb akan banyak menyesatkan manusia melalui pemikirannya yang
keliru tadi, bila tidak ada yang menjelaskan kekeliruannya tsb secara ilmiah.
Yang dengan demikian, maka yang bersangkutan akan turut memikul dosa banyak
orang yang mengikuti pemikirannya tersebut.
Apalagi
bila ia kemudian dipuji-puji oleh tokoh lainnya, maka akan semakin banyak umat
yang tersesat karenanya, sehingga semakin banyak dosa yang dipikul oleh si
pencetus pemikiran tadi. Sebab Rasulullah ‘alaihis shalaatu was salaam
bersabda:
وَمَنْ
سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَيْءٌ (رواه مسلم رقم 1017).
Siapa
yang membikin suatu ajaran buruk dalam Islam, maka ia akan memikul dosanya dan
dosa setiap orang yang mengamalkannya setelah itu; tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun (HR. Muslim dalam Shahihnya, no 1017).
Jadi,
maksud saya menulis tanggapan ini ialah demi mengamalkan dalil-dalil yang saya
sebutkan tadi, dan demi berbakti kepada Habib Rizieq Shihab –saddadahullaah-
agar kekeliruan beliau sebagai tokoh yang dikagumi banyak orang, jangan sampai
diikuti.
Baiklah,
sekarang saya akan mulai menanggapi apa yang saya dapatkan dari statemen Habib
Rizieq Shihab –yg selanjutnya saya singkat HRS-. Berikut ini adalah copas dari
blog satuIslam yg memberitakan secara singkat ceramah HRS saat merayakan haul
kematian ibundanya di markas pusat FPI tanggal 1 Desember 2013 lalu. Dituliskan
disana sbb:
Sementara
itu, menanggapi tudingan sekelompok takfiri yang mengkafirkan dirinya
akhir-akhir ini hanya karena beliau tidak mau mengkafirkan semua penganut
Syi’ah, Habib Rizieq menjelaskan bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan
Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika
Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim
yang mesti ditolak.
Lebih
jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru
ia sedang membela Ahlusunnah
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
Dalam
cuplikan di atas, ada beberapa poin yang perlu diperjelas agar tidak menjadi
syubhat bagi orang awam.
Pertama: HRS mengatakan bahwa dirinya dikafirkan oleh kelompok
takfiri karena tidak mau mengkafirkan semua penganut syi’ah.
Pertanyaannya:
Siapa kelompok takfiri yang dimaksud? Bisakah HRS menyebutkan nama mereka satu
persatu, atau minimal ciri-ciri mereka agar ucapan HRS bernilai ilmiah dan
bukan sekedar melempar tuduhan?
Perlu
diketahui, bahwa takfir (menjatuhkan vonis kafir) sesuai aturan dan secara
proporsional, merupakan salah satu akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagai
orang yang beriman, kita harus mengkafirkan SEMUA yang dikafirkan oleh Allah
dan RasulNya. Baik dikafirkan dengan menyebut nama mereka, seperti kafirnya
Fir’aun, Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul dan lain-lain. Atau
dikafirkan berdasarkan sifat-sifatnya, seperti kaum musyrikin secara umum, kaum
Yahudi, kaum Nasrani, Majusi, dll. Ini yang pertama.
Yang
kedua: perlu kita ketahui bahwa penjatuhan vonis kafir –alias takfir- ada dua
macam. Takfir ‘aam dan takfir khaash. Pengkafiran
secara umum dan pengkafiran secara khusus (personal/individu). Ketika ada yang
mengatakan bahwa kelompok syi’ah itsna ‘asyariyah itu kafir karena mereka
meyakini hal-hal yang membatalkan keIslaman, seperti meyakini ketidakotentikan
Al Qur’an yg ada hari ini, karena diotak-atik oleh para sahabat. Atau sikap
ghuluw mereka terhadap ahli bait Nabi hingga menyematkan sifat-sifat uluhiyyah
kepada mereka. Dan banyak hal lainnya…[5]
Nah,
ketika ada yang mengatakan bahwa syi’ah adalah kelompok kafir, tidak berarti
bahwa setiap orang yang diindikasikan syi’ah harus dikafirkan secara personal,
dengan mengatakan si A, si B, si C dst kafir. Tidak demikian. Sebab yang
seperti ini adalah takfir khaash yang hanya berhak dijatuhkan oleh para qadhi
(hakim) atau ulama yg terkenal dengan kedalaman ilmunya serta kehati-hatian
mereka dalam berfatwa, sebab menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada
seseorang memiliki konsekuensi hukum yang berat, seperti halalnya darah orang
tersebut, terputusnya hubungan suami-istri, batalnya hak waris mewarisi, tidak
halalnya sembelihan dia, dst. yang dibahas oleh para ulama dalam bab riddah
(murtad) dalam kitab-kitab fiqih.
Di
samping itu, untuk menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada
orang-perorang haruslah memperhatikan terpenuhinya beberapa hal dan
ternafikannya beberapa hal pula, yaitu:
- Ybs haruslah akil baligh alias bukan anak kecil dibawah usia, atau tidak waras akalnya. Karena hukum syariat baru mengikat seseorang bilamana ia tergolong mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat.
- Ybs haruslah tahu bahwa perkataan/sikap/perbuatan/keyakinan tsb hukumnya kufur akbar, alias bukan orang yg jahil terhadap hal tsb karena baru masuk Islam, atau belum sempat mempelajarinya karena udzur tertentu yang bisa diterima oleh syariat. Bukan semata-mata jahil karena tidak peduli dengan ajaran agama dan tidak mau belajar. Sebab yg demikian ini namanya bukan lagi jahil (tidak tahu) tapi mu’ridh alias berpaling dari agama (tidak mau tahu).
- Bila kekafiran tersebut berupa perkataan/sikap/perbuatan, maka hal tsb dilakukannya secara suka rela atas pilihan pribadi, tanpa ada paksaan. Sebab bila ia dipaksa utk berbuat/berkata kufur sedangkan hatinya tetap beriman; maka ia tidak dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa kafir terhadap Allah setelah beriman, maka ia mendapat murka Allah, kecuali bila dirinya dipaksa sedangkan hatinya tetap mantap dengan keimanan. Akan tetapi bila hatinya ikut merasa tentram dengan kekafiran tersebut, maka bagi mereka murka Allah dan siksa yg pedih” (An Nahl: 107).
- Adanya kesengajaan dalam perkataan/perbuatan/sikap kufur tersebut, dan bukan dilakukan karena kelalaian atau ketidak sengajaan.
- Jika yg melakukan/mengatakan kekufuran tadi tergolong orang yang layak berijtihad, maka harus dipastikan bahwa ia tidak memiliki syubhat yang mendorongnya berbuat/berkata kufur tsb. Jika Ybs masih memiliki syubhat (ta’wil), maka syubhat ini harus dihilangkan melalui penjelasan terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua pena’wilan bisa diterima dalam hal ini. Hanya pena’wilan yg memenuhi syarat saja yang bisa dianggap sebagai udzur. Yaitu pena’wilan yang bisa diterima secara bahasa walaupun maknanya lemah dalam konteks tersebut. Adapun penakwilan yg serampangan dan tidak bisa diterima secara bahasa, maka tidak dianggap sebagai udzur.
Kedua: HRS mengatakan [bahwa dalam kitab-kitab hadis utama
rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu
jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih
Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.]
Pernyataan
ini juga melahirkan beberapa pertanyaan:
- Berapakah jumlah perawi yg diklaim oleh HRS sebagai ulama syi’ah dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tsb? Bisakah HRS menyebutkan angkanya? Perlu diketahui, bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani telah merangkum secara singkat biografi para perawi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah, yaitu dlm kitab beliau yg berjudul Taqriebut Tahdzieb yang jumlahnya mencapai 8826 perawi. Dan ini belum seluruhnya.
- Apa saja yang dimaksud dengan kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tsb? Apakah semua kitab hadits yg ditulis oleh ulama ahlussunnah harus diperlakukan sebagai kitab rujukan? Kalau ini yang dimaksud maka keliru-lah dia. Sebab tidak ada kitab selain As Shahihain yang hadits-haditsnya otomatis shahih dan menjadi pijakan dalam beragama menurut Ahlussunnah. Selain As Shahihain tetap harus melewati verifikasi sanad, karena para ulama senantiasa meriwayatkan hadits dengan sanadnya, yang dari situ bisa dikenali manakah yg sahih, mana yg hasan, mana yg dha’if, batil, palsu, dst. Artinya, kalau dalam hadits yg diriwayatkan oleh selain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam sanadnya terdapat perawi syi’ah rafidhah, maka hadits ini tidak bisa dijadikan alasan; sebab Ahlussunnah tidak menganggap harusnya menerima setiap hadits yg ada, namun hanya yg disepakati sebagai hadits-hadits yg maqbul (shahih atau hasan) saja, dan ini hanya berlaku secara umum dalam As Shahihain, adapun selain Shahihain maka tetap melalui verifikasi sanad.
- Tahukah HRS siapa sejatinya mereka yang dianggap sebagai perawi syi’ah tersebut? Adakah diantara mereka yang keyakinannya sama dengan keyakinan syi’ah itsna asyriah (rafidhah) hari ini, yang telah keluar dari Islam?
Ataukah
HRS tidak memahami hakikat istilah syi’ah/tasyayyu’ yang sering dipakai oleh
para ahli hadits dalam mengritik perawi tertentu, dan menganggap bahwa istilah
tersebut sama dengan istilah syi’ah yang populer hari ini? Kalau memang
demikian menurut HRS, maka saya bisa memaklumi kesalahan tersebut mengingat HRS
bukanlah ahli hadits, dan tidak berlatarbelakang ilmu hadits.
Oleh
karenanya, saya akan menjelaskan kerancuan pemahaman ini dalam beberapa poin:
Pertama: Istilah tasyayyu’ dan syi’ah yang digunakan oleh para
ulama salaf dalam mengritisi perawi hadits, jauh berbeda dengan istilah syi’ah
hari ini yang terkenal suka mencaci maki, melaknat dan memurtadkan sahabat
Nabi… atau mereka yang kerap menuduh istri-istri Nabi dengan tuduhan keji, dan
menisbatkan berbagai macam kedustaan atas nama ahli bait kepada para sahabat.
Hal
ini telah dijelaskan oleh Imam Adz Dzahabi (wafat 748 H) tatkala membahas
biografi salah seorang perawi syi’ah yang haditsnya tercantum dalam Shahih
Muslim. Perawi tsb bernama Aban bin Tighlab Al Kufy[6]. Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan
kata-kata (شِيْعِيٌّ جَلْدٌ، لكنه صدوق، فلنا صدقه
وعليه بدعته) artinya: Ia seorang syi’i tulen, akan tetapi shaduq
(jujur). Maka kita ambil kejujurannya, dan biarkan dia menanggung akibat buruk
bid’ahnya.
Beliau
lantas menyebutkan bahwa Aban bin Tighlab ini dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad
bin Hambal, Yahya bin Ma’ien dan Abu Hatim Ar Raazi. Namun Ibnu ‘Adiy
menyebutkannya dalam kitab Dhu’afa –yg berisi para perawi lemah-, dan
mengatakan (وكان غاليا في التشيع) artinya, ia bersikap
ghuluw dalam kesyi’ahannya (tasyayyu’). Sedangkan As Sa’dy menyifatinya dengan
ungkapan (زائغ مجاهر), artinya: orang
sesat yang menampakkan kesesatannya.
Lalu
Imam Dzahabi berkomentar: “Boleh jadi kita bertanya-tanya: Bagaimana
mungkin seorang ahli bid’ah dianggap tsiqah, padahal definisi
tsiqah meliputi sifat ‘adaalah dan itqaan? Bagaimana mungkin seorang penganut
faham bid’ah dianggap ‘aadil?[7]
(berikut
ini saya nukilkan teks jawaban beliau beserta terjemahnya)
وجوابه ان
البدعة على ضربين، فبدعة صغرى كغلو التشيع او كالتشيع بلا غلو ولا تحرُّف؛
فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رُد حديث هؤلاء
لذهب جملة من الاثار النبوية وهذه مفسدة بينة. ثم بدعة كبرى
كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر – رضي الله عنهما – والدعاء
إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة.
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
Jawabnya
adalah bahwa bid’ah itu terbagi dua. Ada bid’ah sughra (kecil) seperti sikap
tasyayyu’ yg ekstrim, atau tasyayyu’ yg tidak ekstrim dan tidak diiringi dengan
penyimpangan keyakinan. Yang seperti ini banyak dijumpai di kalangan tabi’in
dan tabi’it tabi’ien, akan tetapi mereka juga memiliki kualitas agama yang
baik, sikap wara’ (hati-hati dan takut kpd Allah), serta kejujuran. Bila hadits
mereka kita tolak, maka akan hilanglah sejumlah besar hadits Nabi, dan ini
merupakan mafsadat yang jelas.
Kemudian
ada pula bid’ah kubra (besar), seperti sikap rafdh secara total (bid’ahnya
syi’ah rafidhah hari ini –pentj), rafidhah ekstrim, menghina
Abu Bakar dan Umar –radhiyallaahu ‘anhuma-, dan mengajak orang untuk
berpemahaman demikian (alias menjadi da’i rafidhah); maka yang seperti ini
riwayatnya tidak menjadi hujjah dan tidak ada nilainya.
Lagi
pula, saat ini aku tidak mengingat ada seorang pun dengan kriteria seperti ini
(rafidhah) yang bersifat jujur dan bisa dipercaya, namun justru mereka terkenal
sebagai tukang dusta, dan ahli bermuka dua dan bersikap munafik. Lantas
bagaimana mungkin orang yg spt ini keadaannya bisa diterima riwayatnya? Sama
sekali tidak mungkin.
Jadi,
seorang syi’i ekstrim di zaman para salaf dan menurut definisi mereka, ialah
orang yang mengritik dan mencaci Utsman, Zubeir, Thalhah, Mu’awiyah dan
sejumlah kalangan yang memerangi Ali –radhiyallaahu ‘anhum-. Sedangkan
syi’i ekstrim di zaman kita dan menurut definisi kita, ialah mereka yang
mengkafirkan tokoh-tokoh tersebut dan bersikap bara’ (memusuhi) pula terhadap
Abu Bakar dan Umar. Nah, orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir.
Sedangkan Aban bin Tighlab tidak pernah mengritik Abu Bakar dan Umar, namun
boleh jadi ia sekedar meyakini bahwa Ali lebih mulia dari mereka berdua.
Sedangkan
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H) mengatakan:
التشيع في
عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن
مخالفه مخطئ مع تقديم الشيخين وتفضيلهما وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد
رسول الله صلى الله عليه وسلم وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد
روايته بهذا لاسيما إن كان غير داعية وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض
فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
Istilah
tasyayyu’ dalam pengertian para ulama terdahulu (salaf), maksudnya ialah
meyakini bahwa Ali lebih afdhal dari Utsman, atau bahwa Ali senantiasa benar
dalam semua peperangannya, dan bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah
keliru; yang disertai dengan sikap mendahulukan Asy Syaikhain (Abu Bakar dan
Umar) serta lebih memuliakan mereka di atas Ali. Boleh jadi ada sebagian dari
kaum syi’ah (tempo dulu) yang menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan bilamana yang berkeyakinan
seperti itu adalah seorang yang wara’, taat beragama, jujur, dan berangkat dari
hasil ijtihad; maka hadits yang diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata
karena keyakinan tsb. Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada
pemikirannya.
Sedangkan
istilah tasyayyu’ menurut pengertian ulama mutaakhkhirin (ulama setelah
generasi salaf); maka maksudnya adalah rafidhah tulen. Maka seorang rafidhi
ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali.[8]
Kedua: Imam Bukhari dan Imam Muslim sangat jarang meriwayatkan
dari orang-orang syi’ah, kecuali dalam hadits-hadits yang tidak menjadi hujjah
secara independen. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
البخاري
يرى أن الانقطاع علة فلا يخرج ما هذا سبيله إلا في غير أصل موضوع كتابه كالتعليقات
والتراجم
Imam
Bukhari berpendapat bahwa terputusnya sanad merupakan ‘illah (cacat yg
melemahkan suatu hadits). Oleh karenanya, ia tidak meriwayatkan hadits-hadits
yang kondisinya seperti itu, kecuali bila hadits tersebut diluar topik utama
kitab beliau, seperti hadits-hadits yang mu’allaq, atau perkataan yang beliau
sisipkan di bawah judul-judul bab.[9]
Artinya,
Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits dengan sanad bersambung dari beliau
hingga Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, yang dalam sanad tersebut
terdapat perawi rafidhi; dan tidak ada perawi lain yang menyertainya dalam
riwayat tersebut; kemudian tidak ada hadits lain dalam bab yang sama.
Namun
bila hadits yg dimaksud adalah hadits-hadits mu’allaq, atau sekedar perkataan
sampingan yang beliau sisipkan di bawah judul-judul bab; maka ini tidak
mengurangi nilai shahih Bukhari sama sekali. Sebab maksud utama penyusunan
kitab ini adalah mengumpulkan hadits-hadits shahih yg bersambung
sanadnya tentang Rasulullah dan ajaran beliau; sebagaimana yg dapat
difahami dari judul asli shahih Bukhari itu sendiri, yaitu (الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله وسننه وأيامه).
Jadi,
perkataan HRS: [jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali
hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.] adalah perkataan yang
batil. Batil karena syi’ah hari ini jauh berbeda dengan syi’ah tempo
dulu. Para perawi syi’ah yg tercantum dalam shahihain adalah
‘manusia-manusia purba’ yg sudah punah sejak ratusan tahun lalu, menurut
pengakuan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar…. dan tentunya mereka lebih paham
tentang rijaalul hadits daripada HRS.
Perkataan
ini juga batil karena tidak ada hadits syi’ah rafidhah -syi’ah hari
ini- yang diriwayatkan secara independen oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Sama sekali tidak ada.
Saya
berani mengajak HRS untuk mubahalah dalam hal ini. Silakan buktikan jika ada perawi yang akidahnya
seperti Khomeini, atau Kang Jalal, atau dedengkot rafidhah lainnya hari ini,
yang haditsnya tercantum dalam Shahihain –dengan syarat yg telah dijelaskan
oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tadi-!!
Ketiga: [Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya
tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah wal Jama’ah.
“Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih)
Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang
menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!].
Ini
sungguh aneh bin ajaib… dan ini adalah kesalahan fatal yang dibangun diatas
kesalahan pertama, yaitu tidak bisa membedakan antara syi’ah tempo dulu
(muslimin ahli bid’ah) dengan syi’ah hari ini (musyrikin munafikin).
Kalau
HRS ingin membela ahlussunnah wal jama’ah, ya ikutilah cara-cara ulama
Ahlussunnah yang menjelaskan kebatilan syi’ah dan kekufuran mereka. Bukan
dengan bermanuver seperti itu… Lantas bagaimana jika yg mengkafirkan syi’ah
rafidhah adalah Imam Bukhari sendiri? Apakah HRS akan mengatakan bahwa
Imam Bukhari menyerang kitabnya sendiri dan menghancurkan Ahlussunnah wal
Jama’ah???
Padahal
dalam kitab beliau yang berjudul Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (nas nomor 40),
disebutkan:
قال أبو
عبد الله: ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا
يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
Abu
Abdillah berkata: “Aku tidak membedakan apakah aku shalat bermakmum di belakang
seorang Jahmi dan Rafidhi, ataukah bermakmum di belakang Yahudi dan Nashara.
Mereka tidak boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh
dinikahi (wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan
sembelihannya”.
Abu
Abdillah adalah kun-yah atau sapaan akrab dari Imam Bukhari itu sendiri.
Lihatlah bagaimana beliau menyamakan antara seorang jahmi dan rafidhi dengan
orang kafir seperti yahudi dan nasrani!!! Dan itu beliau sebutkan dalam salah
satu kitab tulisan beliau, bukan dinukil oleh orang lain.
Bukan
hanya Imam Bukhari yang menganggap kafirnya Syi’ah Rafidhah (Syi’ah itsna
‘asyariyah/syi’ah di Iran, Irak, Lebanon, termasuk di Indonesia hari ini).
Namun juga Imam Ahmad bin Hambal, yang dijuluki sebagai Imam
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam
Kitab As Sunnah (1/493-494), Abu Bakar Al Khallal meriwayatkan dengan sanadnya
sbb:
عن عبدالله
بن أحمد قال: سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال:
( ما أراه على الإسلام )
Dari
Abdullah putera Imam Ahmad, katanya: Aku bertanya kepada ayahku tentang
seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Maka kata ayah: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن أبي
بكر المروذي قال: سألت أبا عبدالله عن من يشتم أبا بكر وعمر وعائشة؟ قال: ( ما
أراه على الإسلام )
Dari
Abu Bakar Al Marrudzi, katanya: Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad)
tentang orang yang mencaci Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Kata beliau:
“Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن
إسماعيل بن إسحاق أن أبا عبدالله سُئل: عن رجل له جار رافضي يسلم عليه؟ قال: (لا،
وإذا سلم عليه لا يرد عليه )
Dari
Isma’il bin Ishaq, bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang
seseorang yang memiliki tetangga seorang rafidhi, bolehkah ia disalami? Kata
beliau: “Tidak. Dan bila si rafidhi menyalaminya, jangan dijawab”.
Kalau
yang mencaci salah seorang sahabat saja –belum sampai melaknat dan
mengkafirkan- sudah dianggap bukan muslim lagi oleh Imam Ahmad, lantas
bagaimana gerangan dengan mereka yang mengkafirkan seluruh sahabat Nabi selain
beberapa gelintir saja???
Nah,
kalau Imamnya Ahlussunnah wal Jama’ah saja mengkafirkan syi’ah rafidhah;
pantaskah HRS yang mengaku sedang membela ahlussunnah wal jama’ah justru
tidak mau mengkafirkan syi’ah; bahkan menganggap orang yang mengkafirkan syi’ah
sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah?? Bukankah konsekuensinya
berarti Imamnya Ahlussunnah wal jama’ah sedang menghancurkan
Ahlussunnah wal Jama’ah ??!!
Mohon
dijelaskan Bib, jangan bikin umat pusing dengan sikap antum!!
Ditulis
oleh Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
Mahasiswa
Doktoral Prog. Ilmu Hadits, Univ. Islam Madinah
Madinah,
2 Shafar 1435 H
[1] Lihat: Mu’jam Maqa-yiesul Lughah oleh
Ibnu Faris (3/468), Lisaanul ‘Arab oleh Ibnu Manzhur (12/373), Al Qomus Al
Muhieth oleh Al Fairuzabadi (hal 1464), dan Taajul ‘Aruus oleh As Sayyid
Murtadha Az Zabiedi (33/33).
[2] Lihat: Lisaanul ‘Arab (12/373) dan Taajul
‘Aruus (33/32-33).
[3] Dialog ini diriwayatkan dgn sanad yg
bersambung oleh Imam Abu Ja’far Al ‘Uqaily dalam kitab Adh Dhu’afa’ Al Kabir
(1/232) saat menceritakan biografi Hasan bin Shalih bin Hayy. Disebutkan pula
oleh Adz Dzahabi, Ibnu Hajar Al Asqalani, dll.
[4] http://satuIslam.wordpress.com/2013/12/02/habib-rizieq-shihab-mengkafirkan-syiah-berarti-menyerang-dan-menghancurkan-ahlussunnah/
[5] Untuk mengetahui apa saja keyakinan
syi’ah itsna ‘asyariyah (rafidhah), yg dianut oleh mayoritas orang Iran,
Hizbullah, dan sejumlah besar orang Irak hari ini; silakan merujuk ke kitab
“Ushuul Madzhab Asy Syi’ah” oleh DR. Nashir bin Abdillah Al Qifaari. Kitab ini
sarat dengan nukilan langsung dari literatur2 syi’ah.
[6] Lihat: Miezanul I’tidal 1/118.
[7] Maksud dari ‘adaalah (عدالة) ialah suatu perangai yang mendorong seseorang selalu bertakwa,
menghindari dosa besar, dan menghindari hal-hal yang menodai norma kesopanan
(muru-ah). Sedangkan maksud dari ‘itqaan artinya jago dalam menghafal dan
meriwayatkan hadits.
[8] Tahdziebut Tahdzieb 1/93, oleh Ibnu
Hajar Al Asqalani.
[9] Lihat: Hadyus Saari (muqaddimah Fathul
Baari) 1/8, oleh Ibnu Hajar.
(source Nahimunkar.com)