Bulan
Sya’ban yang dalam Islam disunnahkan banyak berpuasa, justru yang
terjadi di masyarakat adalah banyaknya orang ke kubur-kubur, lebih-lebih
setelah nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) sampai datangnya Ramadhan.
Menjelang datangnya Bulan Ramadhan itu kubur-kubur apalagi yang
dianggap kuburan wali atau keramat, berjubel manusia sampai 24 jam.
Mereka “beri’tikaf” di kubur-kubur. Hampir bisa dibilang, masjid-masjid
agak sepi, tetapi kubur-kubur sangat ramai. Saking ramainya, sebagai
gambaran bukti, adik saya sempat bertanya kepada seorang tukang ojek di
Kuburan Muria (Sunan Muria) di Gunung Muria Jawa Tengah bagian utara,
Sya’ban 2007M/ 1428H.
“Berapa penghasilan Anda ketika ngojek sampai 24 jam saking ramainya pengunjung ke kuburan semacam ini?” Tanya
adik saya kepada tukang ojek yang mangkal di pangkalan menjelang
Kuburan di Gunung Muria. Untuk ke kuburan itu pengunjung harus naik lagi
dari pangkalan ojek tempat berhentinya mobil ke kuburan sejauh 2 km,
ongkos ojek untuk naik ke kuburan itu Rp6.000,- dan turun dari kuburan
ke pangkalan Rp6.000,- pula.
Tukang ojek itu mengaku: “Saya sehari semalam sampai mendapat
Rp3 juta, Mas!” katanya mantap.
“Benar, sampai mendapat Rp3 juta sehari semalam?” Tanya adik saya dengan ta’ajub.
“Saestu, Mas!” (Benar, Mas!), jawab tukang ojek itu serius.
Demikianlah sebuah gambaran betapa
berjubelnya manusia yang hilir mudik berdatangan ke kuburan menjelang
Ramadhan, siang malam, sampai tukang ojeknya bekerja siang malam dan
menghasilkan duit Rp3 juta, sehari semalam itu, sebanding dengan harga
25-an gram emas murni.
Apa yang mereka perbuat di pekuburan itu? Saya sendiri pernah menyaksikan rombongan yang datang ke Kuburan Ampel di Surabaya.
Kepala rombongan yang tampaknya ustadz mereka, memberi aba-aba sambil
berdiri menghadap jama’ahnya yang duduk bershaf-shaf di sela-sela
kuburan, bagai anak sekolah sedang apel upacara bendera namun dalam
keadaan duduk. Sang Guru itu memberi aba-aba kepada jama’ahnya dengan
tangan mengacung-acung persis dirigent yang memberi aba-aba untuk nyanyi
di kalangan para penyanyi. Maka jama’ah itupun serempak mengikuti
aba-aba gurunya dengan menyanyikan Ya Robbibil, syair bermasalah menyangkut aqidah, yang sudah biasa mereka jadikan “lagu wajib” ketika memulai pengajian. Hanya saja kali ini mereka nyanyikan di kuburan. Padahal nyanyian
syair itu bermasalah menyangkut aqidah, yaitu berisi bait-bait Burdah
karangan Al-Bushiri yang dipersoalkan oleh ulama, karena ghuluw, melampaui batas dalam menyanjung Nabi Muhammad saw.
Syekh Shalih Ibnu ‘Utsaimin telah
menyoroti bait-bait Burdah Bushiri (penyair Mesir 608-695H aktif dalam
tasawuf dan terkenal syairnya: Burdah di antara isinya):
يا أكرم الخلق ما لي من ألوذ به سواك عند حدوث الحادث العمم
إن لم يكن في معادي آخذا بيدي فضلا فقل يا زلة القدم
فإن من جودك الدنيا وضرتها ومن علومك علم اللوح والقلم
Wahai makhluk paling mulia, tidak ada bagiku tempat berlindung selainmu
Ketika terjadi peristiwa yang berat
Jika di akheratku ia tidak menolongku
Maka kukatakan: wahai diri yang celaka
Sesungguhnya di antara kemurahanmu adalah dunia dan kenikmatannya
Dan di antara ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauh dan Qalam.
(Komentar Syaikh ‘Utsaimin): Sifat-sifat
seperti ini tidak sah kecuali bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Dan saya heran
kepada orang yang mengatakan perkataan ini, jika dia memikirkan
maknanya, bagaimana merasa enak pada dirinya untuk berkata sebagai orang
yang bicara kepada Nabi saw:
Sesungguhnya di antara kemurahanmu adalah dunia dan kenikmatannya. Lafal min (di antara) itu maknanya untuk bagian. Lafal dunia itu adalah dunia, dan lafal dhorrotiha itu adalah akherat. Apabila dunia dan akherat itu adalah sebagian dari kemurahan Rasul alaihis sholatu wassalam, dan bukan keseluruhankemurahannya, maka apa yang tersisa bagi Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada sisa bagiNya sedikitpun mungkin, tidak (ada sisa) dalam hal dunia dan tidak pula dalam hal akherat.[1]
Demikian pula ucapannya (Bushiri):
Dan di antara ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauh dan Qalam.
Lafal min (di antara/ sebagian dari) itu
untuk bagian. Saya (‘Syaikh ‘Utsaimin) tidak tahu (pula) apa yang
tersisa untuk Allah Ta’ala dari ilmu, apabila kita berbicara kepada
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pembicaraan ini.
Sebentar wahai saudaraku Muslim, kalau engkau bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
maka posisikanlah Rasulullah saw pada posisinya yang telah ditempatkan
oleh Allah bahwa dia adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Maka katakanlah,
dia adalah Abdullah wa Rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya). Dan
percayalah kepada apa yang diperintahkan Tuhannya kepadanya untuk
menyampaikannya kepada manusia secara umum.
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah: “Aku tidak mengatakan
kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku
mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. (QS Al-An’aam: 50).
Dan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dalam firman-Nya:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا(21)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfa`atan”. (QS Al-Jinn: 21).
قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا(22)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku
sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah
dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain
daripada-Nya“. (QS Al-Jinn/ 72: 22).
Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kalau Allah menghendaki sesuatu padanya maka tidak ada seorangpun yang melindunginya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kesimpulannya, bahwa hari-hari besar atau perayaan-perayaan maulid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamitu
tidak terbatas pada asli keadaannya itu bid’ah bikinan baru, awal
kejahatan agama, tetapi masih ditambah lagi dengan sesuatu kemunkaran
yang membawa kepada kemusyrikan.
Demikian pula dari yang kami dengar
bahwa terjadi dalam perayaan maulid itu ikhtilath (campur aduk) antara
lelaki dan perempuan. Terjadi pula penabuhan (pemukulan bunyi-bunyian)
dan alat musik dan lainnya dari kemunkaran yang tidak ada seorang
mukminpun mempertengkarkan untuk mengingkarinya. Kami cukup dengan apa
yang telah Allah syari’atkan dan Rasul-Nya kepada kami, maka di dalamnya
ada perbaikan untuk hati, negeri-negeri, dan hamba-hamba. (Majmu’
Fatawa Ibnu ‘Utsaimin no 1126). (Fatawa Muhimmah, Abdul Aziz
bin Baaz dan Muhammad bin Shalih al-Utsimin, Darul ‘Ashimah, Riyadh, 1
juz, cetakan 1, 1413H, Muhaqqiq Ibrahim Al-Faris, halaman 44-48). Lebih
komplitnya, lihat di buku Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP, Solo, 2006. Dapat juga dilihat di buku Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Ummat, 2008
[1] Catatan
Hartono Ahmad Jaiz: Anehnya, syair yang sangat membahayakan aqidah itu
merata di mana-mana, bahkan di Jakarta dijadikan muqoddimah “wajib”
dengan dinyanyikan bersama-sama setiap pengajian di majlis-majlis
ta’lim, di masjid-masjid, musholla dan sebagainya di kalangan
tradisional. Guru atau petugas nyanyi, begitu pengajian mau masuk ke
materi yang dibicarakan, misalnya tafsir Al-Qur’an, maka sebelum ayat
yang akan dijelaskan tafsirnya itu dibaca, lebih dulu diawali dengan
nyanyian Ya robbi bil… yang syair-syairnya diantaranya diambil
dari qosidah Burdah yang sangat menyeleweng dari aqidah Tauhid yang
benar itu. Guru atau petugas nyanyi menyanyikan ya robbi bildisertai penggalan-penggalan syairnya yang merusak aqidah itu, lalu jama’ah yang hadir dalam pengajian itu menyahut sengga’an (kata-kata yang diulang-ulang untuk menyahut nyanyian) dengan bersama-sama mengucapkan ya robbi bil…(Tentang sesatnya Ya robbi bil.. itu sendiri bisa dibaca di buku saya, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karena mengandung tawassul (membuat perantara kepada Allah) secara tidak syar’I). Barusengga’annya berupa Ya robbi bil itu
saja sudah bermasalah, apalagi isi bait-bait syairnya, lebih bermasalah
lagi secara aqidah. Makanya pernah terjadi, para ulama dari Timur
Tengah hadir dalam pengajian umum di Jakarta, lalu sebagaimana biasa di
pengajian itu dinyanyikan pula Ya robbi bil.. Para ulama
Timteng yang tentu saja faham Bahasa Arab karena memang bahasa mereka,
dan faham tentang isi dan hukumnya, mereka mengingatkan agar hal itu
tidak dilakukan. Namun tetap saja dilakukan. Kemudian di waktu lain,
orang Jakarta yang memimpin nyanyian Ya robbi bil.. itu datang
ke Timur Tengah, lalu khabarnya dihajar di ruangan khusus oleh Ulama
Timur Tengah untuk menghentikan penyebaran aqidah yang tidak benar itu.
Namun orang Jakarta ini bukannya kapok atau jera, tetapi tetap saja
nyanyian yang dinilai merusak aqidah itu dijadikan muqoddimah
pengajiannya, dan diwarisi oleh generasi penerusnya serta ditiru oleh
setiap majlis taklim yang sepaham dengannya. Kalau ada yang
mengingatkan, cukup dikilahi bahwa antara kita beda kultur. Kultur apa?
Pilih mempertahankan kultur atau membersihkan aqidah dari
kotoran-kotoran? Antara Ulama yang mengingatkan dan yang diingatkan itu
kini sama-sama sudah wafat, tetapi di antara saksinya masih ada. Semoga
masalah ini menjadi ‘ibroh (pelajaran) bagi Ummat Islam.