Maryam adalah seorang Muslimah Inggris yang pindah ke Suriah untuk bergabung dengan Mujahidin yang tengah berjuang melawan diktator Assad. Ia mahir menggunakan senapan Kalashnikov dan saat ini ia menjalani kehidupannya sebagai seorang istri Mujahid Suriah.
Ia adalah seorang wanita muda yang bertubuh tinggi dan mengenakan hijab, lengkap dengan cadar.
“Dulu, sebelum saya mengenakan cadar, semua baik-baik saja, tapi ketika saya mulai menutup wajah saya [dengan cadar], orang-orang biasa mengatakan, ‘Kembalilah ke negaramu.‘ Saya pun menjawab mereka, ‘Aku lahir di sudut negeri ini,’” katanya.
Ia berbicara dengan aksen London, dan menyebut dirinya sebagai “Maryam”.
“Maryam” bukanlah namanya yang sebenarnya, tetapi komitmennya terhadap jihad begitu nyata: “[Rakyat Suriah] ini adalah saudara-saudara kita dan mereka membutuhkan bantuan kita.”
Ketika ditanya mengenai orang-orang yang mengklaim Umat Islam yang berjihad sebagai teroris, Maryam menjawab:
“Kami [Umat Islam] tidak menginvasi tanah mereka, mengambil rumah mereka, makanan mereka, memperkosa kaum wanita mereka, membunuh kaum laki-laki mereka, kami tidak melakukan itu. Kaum Muslimin tidak melakukannya. Justru orang-orang itulah yang telah mendatangi kami dan melakukan itu semua. Tetapi, malah kami yang dicap sebagai teroris.”
Maryam menunjukkan tembakan Kalashnikov-nya. Ia ingin berjihad dan menjadi syuhada. Namun ia bukan seorang Mujahidah garis depan. Ia adalah istri seorang Mujahid, yang memegang senjata untuk perlindungan dirinya.
Gambar-gambar terbaru dari Suriah mengungkapkan informasi yang mendalam mengenai kehidupan warga Inggris yang telah melakukan perjalanan untuk bergabung dengan jihad di wilayah yang dikuasai Mujahidin di utara negara itu.
Pada Selasa (23/7/2013), Channel 4 memperoleh informasi yang difilmkan oleh Bilal Abdul Kareem, seorang mualaf Amerika yang sudah lama hidup di antara Mujahidin barat dan keluarga mereka di wilayah Suriah. Bilal mendokumentasikan kehidupan mereka dan mengatakan dirinya ingin menunjukkan realitas kehidupan para Mujahid asing.
Pernikahan Maryam dengan suaminya yang seorang Mujahid, Abu Bakar, diatur oleh ibunya tiga bulan lalu. Maryam tidak bertemu dengan Abu Bakar sampai setelah mereka menikah.
Abu Bakar adalah seorang Swedia, dan lahir sebagai seorang Muslim. Sedangkan Maryam adalah seorang Inggris, dan memeluk Islam empat tahun lalu.
“Saya tidak tertindas. Jika saya tertindas, saya tidak akan menjadi Muslim sekarang. Jika saya berpikir bahwa Islam adalah agama yang menindas, saya pasti sudah meninggalkan Islam. Islam [justru] membuat saya merdeka,” ungkap Maryam.
"Alhamdulillah,
saya tidak bisa menemukan seorang pun di Inggris yang, kalian tahu, bersedia mengorbankan hidup mereka di dunia ini untuk kehidupan di akhirat … Alhamdulillah Allah memutuskan bahwa saya harus datang ke sini untuk menikahi Abu Bakar.”
Sampai keberangkatannya baru-baru ini dari Inggris ke Suriah, ia meninggalkan apa yang ia sebut sebagai kehidupan yang baik-baik saja di mana ia suka menonton sepak bola di TV dan belajar psikologi serta sosiologi di perguruan tinggi.
Ia mengatakan bahwa orang tuanya tahu ia melakukan perjalanan ke negara yang dilanda perang ini, tapi mereka tidak tahu detail apa yang tengah ia lakukan.
Kepada kaum Muslimin di seluruh dunia, Maryam menyerukan, “Kalian harus bangun dan berhenti takut mati … Kita tahu bahwa ada surga dan neraka. Pada hari akhir, Allah akan mempertanyakan kalian.”
“Alih-alih duduk diam dan memusatkan perhatian pada keluarga kalian atau studi kalian, kalian harus berhenti bersikap mementingkan diri sendiri, karena waktu terus berjalan.”
Maryam dan Abu Bakar memiliki tujuan besar yang sama. Tujuan jangka panjang mereka adalah menyaksikan pembebasan Suriah, diikuti dengan pembentukan sebuah kekhalifahan Islam.
Mereka berdua juga saling menyemangati satu sama lain. Saat pulang ke rumah seusai berjihad, Abu Bakar berkata kepada istrinya, “Sekarang, aku akan keluar lagi, setelah gelap.” Maryam bertanya, “Untuk berperang?“
“Ya,” jawab Abu Bakar, dan Maryam segera mendukungnya, “Kau harus selalu menyerang. Kau harus membebaskan negeri ini.”
Abu Bakar berjihad bersama milisi jihad Sunni yang dikenal sebagai Katiba al-Muhajirin.
Mereka berjuang bersama kelompok Islam besar seperti Ahrar al-Sham dan al-Qaeda afiliasi Jabhah an-Nushrah. Abu Bakar adalah seorang mujahid full-time. Dia mencatat kemenangan milisinya.
Tapi ini adalah Suriah. Tidak hanya ada kemenangan, tetapi juga ada kekalahan, dan kekejaman yang serius.
Pasukan diktator Assad berperang di sini untuk merebut wilayah yang dikuasai Mujahidin, yang mereka klaim sebagai teroris. Pada malam hari, dari bangunan di mana keluarga Abu Bakar tinggal, mereka dapat mendengar senjata berat pasukan pemerintah Assad dan melihat kilatan tembakan di cakrawala.
Maryam mengatakan suara pertempuran tidak membuatnya merasa terganggu. Sebaliknya, ia mengatakan itu membuatnya merasa seperti, “kemenangan sudah dekat. Insya Allah anak saya akan bergabung dengan mereka. Mungkin saya [juga] akan bergabung dengan mereka. Mereka merasa terhormat untuk [bisa] berada di sana, tidak seperti saya. Saya di rumah, tapi, setidaknya saya di sini [di Suriah]“.
Ada pula keluarga Inggris lainnya di sini, di bangunan tempat keluarga Abu Bakar tinggal. Mereka tinggal di lantai bawah.
Aisha (bukan nama sebenarnya) mengatakan ia baru tiba sebulan yang lalu bersama suaminya, yang juga bergabung dengan kelompok Mujahidin asing yang sama dengan tetangganya, Abu Bakar. Mereka memiliki seorang putri.
Aisha mengatakan putrinya merasa sedikit tidak senang pada awalnya, tapi sekarang ia dan putrinya menetap di sana,”Saya pikir anak-anak beradaptasi dengan sangat cepat, jadi ia sudah baik-baik saja.”
“Pada hari-hari pertama, ia mengatakan ia ingin kembali pulang. Ia ingin pergi ke Inggris. Tapi sekarang ia baik-baik saja. Ia suka berada di luar, bisa bermain,” kata Aisha.
Maryam dan Aisha, kedua Muslimah pemberani itu bisa mengendarai mobil dan pergi ke supermarket melewati jalanan yang tidak rata. Maryam mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi selayaknya seorang mujahid.
Ia mengenakan sarung tangan motor dan menggambarkan sarung tangan yang dipakai saudari-saudari Muslimahnya yang lain sebagai sarung tangan yang terlalu feminin.
Di supermarket, mereka membeli popok, roti, sebuah ember, dan berang-barang kebutuhan lainnya yang biasa dibeli di supermarket.
british mujahidah2
Maryam mengakui bahwa ia merindukan makanan Inggris, terutama kue, makanan cepat saji, dan masakan ibunya.
Ia mengatakan bahwa orangtuanya tahu ia di Suriah, meskipun mereka tidak menyadari detail penuh situasinya, dan bahwa ayahnya telah menawarkan untuk mengirim uang. Suaminya mendapatkan sekitar $ 150 per bulan.
Di sana, Maryam dan suaminya membesarkan seorang anak (angkat) mereka bersama-sama, dan sekarang mereka tengah menunggu kehadiran anak kedua mereka.
Dalam dokumentasi tersebut juga terlihat kekompakkan mereka. Mereka berbicara mengenai beberapa hal sampai “pertengkaran” mengenai Kalashnikov siapa yang lebih bagus.
“Kalash-ku lebih bagus daripada milikmu,” kata Abu Bakar.
“Tidak,” sanggah Maryam.
“Ya, tentu saja …” lanjut Abu Bakar. Maryam pun berkata, “Punyaku lebih kecil.”
“Ya [kalash-mu] itu untuk pergi berbelanja, dan [kalash-ku] ini untuk berjihad,” lanjut Abu Bakar. Tak mau kalah, Maryam mengatakan, “Ya, tapi ketika aku menembak, dengan [kalash-ku] ini lebih baik dari pada menembak dengan [kalash-mu] itu. Ini terasa lebih nyaman.”
Mereka berdua ingin membentuk generasi Mujahidin di Suriah. Maryam mengatakan ia tidak memiliki rencana untuk kembali ke Inggris, bahkan jika suaminya gugur dalam pertempuran.
“Saya akan tetap [berjihad] di sini karena saya datang ke sini bukan untuk dia. Saya tidak ingin kembali ke Inggris …”
(source arrahmah.com)