Oleh: Abu Misykah Tamam
(Al-Iqab) Kabar kecelakaan lalu lintas yang
dialami Ustadz Farid Ahmad Okbah tersebar sangat cepat. Bahkan malam di
hari kecelakaan tersebut kabar sudah sampai ke telinga ikhwan-ikhwan di Australia. Tidak menutup kemungkinan dari kelompok-kelompok ‘nyleneh’
yang beliau luruskan jalan pemikirannya ikut mengetahui kabar tersebut,
seperti kelompok Syi’ah di Indonesia.
Benar, di tengah padatnya penjenguk
Ustadz Farid, datang pula utusan dari kelompok Syi’ah yang tergabung
dalam Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) kemarin (Ahad,
20/10/2013) siang menjenguk beliau. Kabar yang sampai ke kami, mereka
diutus oleh tokoh Syi’ah terkemuka Indonesia, Jalaluddin Rahmat. Kelima
utusan Kang Jalal menemui beliau di ruang rawat inap RS. Awal Bros,
Kalimalang – Bekasi.
Menurut Klaim dari IJABI, kunjungannya
menjenguk Ustadz Farid Okbah dalam rangka misi mendahulukan Akhlaq. Hal
ini sebagaimana diungkapkan Abu Haidar Abi dalam status Facebooknya.
“Misi mendahulukan Akhlak ; mengapa tdk?
memang intisari ajaran Islam adalah Akhlak !! Baik secara akhlak
nadzari maupun akhlak 'amali, baru saja sy mngunjungi ust Farid Okbah di
rumah sakit nya. Dan memimpin doa untuk kesembuhannya dg membaca
fateha. Dan menyampai kan salam dari kluarga besar IJABI,” kemarin
melalui BlackBerry Smartphones App.
Benar, bahwa menjenguk orang sakit
adalah bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan Islam. Ia bagian dari
rahmat yang dengannya Islam datang dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diutus.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya': 107)
Karenanya Islam memberikan perhatian besar terhadap akhlak mulia ini melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam hadits-haditsnya,
أَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ وَفُكُّوا الْعَانِيَ
“Berilah makan oleh kalian orang yang lapar, jenguklah orang sakit, dan bebaskan tawanan (muslim).” (HR. Al-Bukhari Dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu 'Anhu)
Dituturkan oleh al-Bara' bin Azib Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan
kepada kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara:
Beliau memerintahkan kami agar menjenguk orang sakit. . ." (Muttafaq
'alaih)
Bahkan perhatian Islam terhadap akhlak mulia ini sampai menjadikannya sebagai bagian dari hak persaudaraan se-Islam. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
حَقُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ
الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ
الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim
lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar
jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang bersin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
خَمْسٌ
تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ رَدُّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتُ
الْعَاطِسِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ
الْجَنَائِزِ
“Lima perkara yang wajib ditunaikan
seorang muslim terhadap saudara (muslim)-nya: Menjawab salam, mendoakan
yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, dan mengantar
jenazah.” (HR. Muslim)
Bernilainya akhlak mulia dan perilaku
baik seseorang dalam Islam manakala pemiliknya memiliki pondasi keimanan
yang lurus dan akidah yang benar. Ibarat sebuah pohon; akhlak mulia
adalah buahnya. Ia tidak akan muncul kecuali ditopang oleh akar yang
kuat dan batang pohon yang kokoh.
Akhlak mulia menjadi tuntutan dan
konsekuensi dari iman dalam hati. Ia menjadi tanda paling nyata kuatnya
iman dalam dada. Kapan iman seorang hamba itu kuat maka komitmen dirinya
terhadap akhlak mulia juga akan kuat. Sehingga pergaulannya terhadap
manusia dihiasi dengan akhlak mulia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى
حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Seolah ayat diatas mengarahkan kepada
kaum muslimin agar jangan mudah terpukau dengan tampilah yang
ditunjukkan manusia dari perilaku baik dan akhlak terpuji. Dalam ayat
ini yang ditampilkan Yahudi dan Nashrani. Bahwa perilaku baik dan akhlak
terpuji yang diakui oleh Islam manakala didasari iman yang benar.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga mengikat kemuliaan akhlak dengan iman melalui sabdanya,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang terbagus akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi)
. . . . Bernilainya akhlak mulia dan perilaku baik seseorang dalam Islam manakala pemiliknya memiliki pondasi keimanan yang lurus dan akidah yang benar. . . .
Karenanya, saat ‘Aisyah bertanya kepada
beliau tentang nasib Ibnu Jud’an yang semasa hidupnya banyak melakukan
kebaikan dan menunjukkan perilaku terpuji berupa menyambung silaturahim
dan memberi makan orang-orang miskin, “Apakah semua itu bermanfaat
baginya?”
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab,
لَا يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Tidak bermanfaat baginya karena tak
pernah sehari pun dia berucap, “Ya Allah Tuhanku, ampunilah dosa
kesalahanku pada hari pembalasan.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan makna hadits
ini, “Apa yang dikerjakannya berupa menyambung silaturahim dan memberi
makan serta berbagai akhlak mulia tidak bermanfaat baginya di akhirat,
karena ia seorang kafir.”
Jika kita perhatikan akidah ajaran Syi’ah yang menyimpang dari akidah Islam yang disampaikan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan
diyakini para sahabatnya, maka kita khawatir amal-amal baik dzahir
mereka tak diterima karena rusak. Seperti ajaran Syi'ah dalam rukun
Iman dan Islam, meyakini akidah raj’ah, bada’, menghinakan para rasul,
mengafirkan sejumlah sahabat dan selainnya.
Kita lihat fatwa-fatwa ulama Islam
tentang kufurnya ajaran syi’ah dan mengafirkan pengikut-pengikutnya.
Silahkan baca tulisan kami terdahulu [Fatwa 8 Ulama yang Mengafirkan Syi'ah Rafidhah]
Kesimpulannya, jika ingin amal kebaikan dan tampilan akhlak mulia orang Syi'ah diterima oleh Allah dan bermanfaat bagi mereka, hendaknya meninggalkan ajaran Syi'ah yang menyimpang dan kembali kepada Islam yang sudah dipraktekkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam & para sahabatnya. Maka tepat jika Ustadz Farid Ahmad Okbah yang mendoakan penjenguk beliau dari IJABI agar mendapat hidayah dan kembali kepada Ahlussunnah. Wallahu A’lam.. . . Jika kita perhatikan akidah ajaran Syi’ah yang menyimpang dari akidah Islam yang disampaikan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan diyakini para sahabatnya, maka kita khawatir amal-amal baik dzahir mereka tak diterima karena rusak. . . .