(Al-Iqab) - Syiah berpendapat bahwa nikah mut'ah sah
menurut syariat dan mendapatkan pahala yang
agung di sisi Allah. Hakikatnya, agama Islam
adalah agama yang sesuai dengan akal manusia
yang fitrah, menjunjung tinggi kehormatan dan
kesucian, bukanlah agama yang mengedepankan nafsu syahwat dan
hasrat-hasrat yang tabu. Islam melarang segala sesuatu yang murni
menimbulkan kemudharatan dan sesuatu yang
mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Di
antara hal-hal yang menimbulkan kemudhratan
tersebut adalah nikah mut'ah.
Kemudharatan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menyalahi nash-nash syariat karena
menghalalkan apa yang Allah haramkan.
2. Riwayat-riwayat dusta yang
bermacam-macam
dan penisbatannya kepada para imam, padahal di
dalamnya mengandung caci maki yang tidak akan
diridhai oleh orang yang dalam hatinya terdapat
sebiji sawi dari keimanan.
3. Kerusakan yang ditimbulkan dari pembolehan
mut'ah dengan wanita yang bersuami, walaupun
dia berada di bawah penjagaan seorang laki-laki
tanpa diketahui oleh suaminya. Dalam keadaan
seperti ini seorang suami tidak akan merasa aman
terhadap istrinya, karena bisa jadi si istri nikah mut'ah tanpa
sepengetahuan suaminya yang sah
ini. Pembolehan ini bisa dirujuk di buku Syiah Al
Kafi, Jilid: 5, Hal. 463.
Tak dapat dibayangkan,
bagaimana pandangan seorang laki-laki dan
perasaannya ketika dia mengetahui bahwa istri
yang berada di bawah perlindungannya menikah dengan laki-laki lain
dengan cara mut'ah
(dikontrak pen.).
Bagaimana pula keadaan anak-
anak dan keluarga lainnya apabila hal ini terjadi?!
4. Para bapak juga
tidak akan merasa aman
terhadap para anak perempuannya yang masih
gadis, karena ada kalanya mereka melakukan
nikah mut'ah tanpa sepengetahuan bapak-bapak
mereka. Sangat mungkin seorang bapak
dikagetkan oleh anak gadisnya yang tiba-tiba hamil. Mengapa dia hamil?
Bagaimana bisa terjadi?
Tidak tahu pula siapa yang menghamili.
Atau dia
mengetahui anaknya telah menikah dengan
seorang laki-laki, tetapi siapakah dia? Dia tidak
tahu karena sang suami pergi dan
meninggalkannya sebelum berjumpa dengannya karena masa kontrak mut'ah
telah berakhir.
5. Kebanyakan tokoh-tokoh Syiah yang
membolehkan mut'ah, membolehkan diri mereka
untuk nikah mut'ah dengan orang lain, tetapi jika
ada seseorang yang meminang anak
perempuannya, atau kerabat perempuannya
untuk dinikahi dengan cara mut'ah, niscaya dia tidak akan menyetujui
dan meridhainya, karena
dia memandang pernikahan seperti ini adalah
bentuk perendahan harga diri, jauh dari nilai-nilai
kesucian, tidak diterima oleh hati nurani, dan
sama saja dengan zina. Ini adalah aib bagi dia, dia
menyadari hal itu, sementara dia sendiri mut'ah dengan anak perempuan
orang lain. Tidak
diragukan lagi dia pasti menolak untuk
menikahkan anak perempuannya kepada orang
lain dengan cara mut'ah, walau dia membolehkan
dirinya sendiri untuk menikahi anak perempuan
orang lain dengan cara tersebut.
6. Dalam pernikahan mut'ah tidak ada saksi,
pengumuman, keridhaan wali wanita yang
dikhitbah, dan tidak berlaku hukum waris di
antara suami dan istri, tetapi statusnya hanyalah
seorang istri yang dikontrak, sebagaimana
pendapat yang dinisbatkan kepada Abu Abdullah. Maka bagaimana mungkin
syariat Islam
mengajarkan dan mendakwahkan pemeluknya
agar melakukan hal ini?!
7. Pembolehan mut'ah membuka peluang bagi
pemuda dan pemudi yang bobrok akhlak dan
kepribadiannya untuk semakin tenggelam dalam
kubangan dosa, sehingga hal tersebut akan
merusak citra agama dan orang-orang yang taat
beragama. Atas dasar semua itu, maka jelaslah bahaya
mut'ah dari sisi kehidupan beragama,
kemasyarakatan, dan moral. Oleh karena itu,
maka mut'ah diharamkan. Kalaulah dalam mut'ah
terdapa kemaslahatan, tentu tidak akan
diharamkan, tetapi karena mut'ah mengandung bahaya yang sangat banyak,
maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkannya. Demikianlah kehidupan
masyarakat yang
mayoritas penduduknya adalah Syiah. Bagaimana
kebobrokan moral terjadi di lingkungan mereka.
Meskipun mereka mengembel-embeli diri mereka
sebagai komunitas Islam, masyarakat Islam, atau
bahkan negara Islam, maka hakikatnya sangat jauh sekali dari ajaran Islam. Dan tentunya kita
menjaga dan saling menasihati kepada kerabat
dan teman-teman kita, agar ajaran ini tidak
menyebar di bumi pertiwi, sebagai bentuk
preventif (pencegahan) terjadinya kerusakan
moral bangsa.
[Sumber: Al Musawi, Sayid Husain. 2008. Mengapa Saya
keluar dari Syiah. Pustaka Al
Kautsar, Jakarta]