Oleh: Akrom Syahid
Solo- (Al-Iqab) - Baru-baru ini sedang terjadi perdebatan tentang
istilah sunni dan syi'ah.
Banyak ragam pendapat tentang kedua istilah ini.
Ada yang mengatakan bahwa istilah Sunni dan
Syi'ah adalah ciptaan Yahudi. Hanya saja pendapat
ini tidak merujuk kepada kitab atau pakar mana
yang ia jadikan pedoman dalam berpendapat. Ada juga yang menuduh bahwa
istilah sunni
bid'ah tidak ada dalam al-Qur'an dan Assunnah.
Yang lain berpendapat, justeru istilah Syi'ah yang
paling banyak tercantum dalam al-Qur'an. Sebenarnya, semua statement,
pendapat, atau
lebih cocok disebut syubhat di atas dan
semisalnya memiliki satu tujuan, yaitu
menghilangkan sekat antara Sunni (baca: Islam)
dan Syi'ah. Sehingga kelak, masyarakat, terutama
orang awam akan menilai bahwa antara sunni dan Syi'ah itu sama saja,
tidak ada bedanya. Jika masyarakat sudah demikian pendapatnya,
kelak missionaris-missionaris Syi'ah akan
bergerilya di tengah masyarakat Islam untuk
menyebarkan pahamnya yang syirik. Biasanya
dimulai dari cinta ahlu bait, bagi orang awam. Sedangkan para
akademisi akan didekati melalu
perusakan metodhologi memahami Islam. Lebih
sering mereka melakukan pendekatan dengan
teori-teori filsafat. Dalam propaganda dakwah, biasanya tahap
penyamaan antara Sunni dan Syi'ah dengan istilah
sunni maupun syi'ah sama saja, atau dengan kata-
kata, "Sudahlah kita tidak usah
mempermasalahkan Sunni maupun Syi'ah, yang
penting kita muslim." Ini dalam teori propaganda dakwah yang dilakoni
Syi'ah disebut 'netralisasi'. Tahap netralisasi akan menjadi sesuatu
yang
sangat penting bahkan wajib, jika tempat
penyebaran Syi'ah yang dikehendaki adalah
daerah yang berbasis sunni, seperti Indonesia.
Pada tahap ini, da'i-da'I Syi'ah akan
menampakkan dirinya (bertaqiyyah) sebagai orang yang sangat berpegang teguh pada sunnah-sunnah dzahiriyah Rasulullah saw, anti
kebid'ahan. Walau terkadang taqiyyah bentuk ini
terkadang bocor lewat pergaulannya dengan ahlu
bid'ah atau sebagian da'I Syi'ah yang diberi
mandat untuk mendekati pelaku-pelaku kebid'ahan, khurafat, takhayyul
atau para pecinta
kuburan. Atau lewat pembelaannya yang halus
terhadap ajaran Syi'ah yang menyembah kuburan
dan foto para imamnya. Perilaku ahlu atsar dan mencintai sunnah-sunnah
Rasulullah saw ini, biasanya hanya terbatas pada
amal-amal dzohir, yang bersifat fikih. Bukan dalam
urusan akidah. Karena memang tujuan para
missionaris Syi'ah pada tahap ini adalah agar
awam muslim patuh, taat, dan kagum terhadap sosok dirinya, sekaligus
mereka bermisi untuk mendangkalkan akidah umat Islam. Oleh karena
itu, mereka akan menjauhkan umat dari
pemahaman akidah yang benar, al-wala' wal
baro', dan perkara-perkara lainnya yang
merupakan intisari tauhid atau Islam itu sendiri. Inilah salah satu
rahasia keberhasilan Nashiruddin
Ath-Thusi, tokoh Syi'ah yang berhasil menjadi
perdana menteri Abbasiyah dengan taqiyyahnya,
dalam menghancurkan Khilafah Bani Abbasiyah,
dan keberhasilan kaum Ubbaidiyah mendirikan
benalu Daulah Syi'ah di wilayah kekuasaan Kekhilafahan Turki. Bahkan,
menurut pakar sejarah Islam, Syaikh DR.
Ali Ash-Sholabiy , keberhasilan kaum Shofawiyyin
mendirikan daulah di Iran juga tidak terlepas dari
taqiyyah dengan menampakkan diri sebagai
orang-orang yang mencintai sunnah-sunnah
Rasulullah saw. Pasalnya, dengan konspirasi ini akan banyak kalangan
awal muslimin yang
tertipu, sehingga mudah dibelokkan akidahnya.
Ana Muslim
Terkait
istilah ana muslim, semua umat Islam
sepakat bahwa mereka harus menamakan dirinya
Muslim, tidak menamakan dirinya Yahudi atau
Nasrani, bukan juga Shobi'. Sebagaimana firman
Allah SWT, ﻲِﻓَﻭ ُﻞْﺒَﻗ ْﻦِﻣ َﻦﻴِﻤِﻠْﺴُﻤْﻟﺍ ُﻢُﻛﺎَّﻤَﺳ َﻮُﻫ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ
ﺍًﺪﻴِﻬَﺷ ُﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ َﻥﻮُﻜَﻴِﻟ ﺍَﺬَﻫ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ َﺀﺍَﺪَﻬُﺷ
ﺍﻮُﻧﻮُﻜَﺗَﻭ "Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-
orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula)
dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia," (al-Hajj: 78) Inilah ajaran Islam. Yaitu
menamakan diri dengan
muslimin. Karena penamaan ini telah ada dalam
kitab-kitab sebelum alQur'an dan juga di dalam AlQur'an. Pernyataan tegas "Saya muslim" perlu
disampaikan ketika status keislaman
dipertanyakan, atau ada yang meragukan
keislaman kita. Ini bertujuan untuk memisahkan
antara Islam dan kafir. Karena selain Islam adalah
bathil. Adapun terkait masalah sunni-syi'ah, para ulama
telah sepakat, bahwa Syi'ah yang berkembang
hari ini telah keluar dari Islam. Karena mereka
adalah pecahan dari Syi'ah Rafidhah atau
imamiyah. Oleh karena itu, memperjelas posisi dan
status keSyi'ahan atau keSunniyan pada konteks kekinian, terutama
setelah nyata permusuhan
Syi'ah atas umat Islam di Suriah, adalah suatu
keharusan. Karena dengan memperjelas status
inilah, garis perkawanan (loyalitas) dan
perlawanan (disloyalitas) akan bisa diterapkan. Ibarat status
kewarnegaraan, agar bisa tinggal
atau bertempat di salah satu negara, dewasa ini
dibutuhkan kejelasan identitas. Semua orang
maklum bahwa semua manusia adalah manusia,
sebagaimana semua umat Islam adalah muslimin.
Hanya saja, untuk menerapkan hukum-hukum yang berlaku, kepada seseorang tentu
dibutuhkan kejelasan status. Maka jika ada seseorang ditanya, "Anda warga
mana, Indonesia apa Malaysia" kemudian ia
menjawab, "Saya manusia." Tentu ini merupakan
tindakan bodoh. Sama halnya dengan kebodohan
orang yang menjawab, "Saya muslim." Saat
ditanyai status "Apakah Anda Sunni atau Syi'ah." Seharusnya pertanyaan
yang khusus, jawabannya
harus khusus. Selain itu, ternyata, ungkapan "saya muslim," saat
ditanya "Apakah anda Sunni atau Syi'ah, adalah
jawaban standar seorang Syi'ah yang bertaqiyyah.
Hal ini terungkap di tulisan putra Jalaluddin
Rahmat, Miftah, dalam buku, "Islam 'madzhab'
Fadhlullah." (hlm. 40) Berikut kisahnya yang ia tutur terkait
kekagumannya terhadap sosok Fadhlullah –tokoh
spritual Hizbullah-, Konon Fadhlullah pernah ditanya, "Sayyid,
bagaimana saya harus menjawab bila ada yang
bertanya tentang madzhab saya?", "Jawablah, ana
muslim," jawab Fadhlullah. (Miftah melanjutkan kisahnya), "Suatu saat saya di
Pusat Bahasa Universitas Damaskus, Mansur,
kawan saya dari Amerika bertanya kepada saya:
Antum Sunni au Syi'i? Kamu sunni atau Syi'ah? Saya
teringat ajaran Sayyid Fadhlullah. Saya menjawab,
"Ana Muslim," Dan dia tergelak tawa terbahak- bahak seraya berkata,
"Kamu Pasti Syi'ah, Kamu Pasti Syi'ah." Saya bertanya, "Lho, dari mana
Antum bisa yakin
kalau saya Syi'ah? Saya muslim." Dia kemudian
menjawab, "Tidak, kamu pasti orang Syi'ah.
Karena hanya orang Syi'ah yang jika ditanya apa
madzhabnya, dia menjawab: Ana Muslim."… Saya tidak punya cara
membuktikan pada dia
sebaliknya. Saya kehilangan kata-kata. "Ya
sudah," ujar saya. "terserah pendapat Antum.
Kalau Antum sendiri bagaimana? Sunni atau
Syi'ah?" Lalu dia tersenyum dan menjawab, "Ana
muslim juga. Sungguh indahnya perjumpaan saya dengan sahabat saya
dengan sahabat saya itu,
karena ajaran yang saya terima dari Sayyid." –
selesai kisah Miftah-. Jadi, jawaban "saya muslim," dalam kamus Syi'ah
adalah kalimat standar operasi. Baik itu bertujuan
mengelabui umat Islam atau agar kelihatan
bijaksana: bervisi menyatukan umat Islam.
Kalimat-kalimat 'ana muslim' saat ditanya 'Anda
Sunni atau Syi'ah' sudah biasa terucap dari orang- orang yang
mendidolakan Khumaini.*
Hasbunallah wanikmal wakil.